ANJANGSANA : NAPAK TILAS MALIOBORO

Komunitas Sastra Ngopinyastro Menampilkan Puisi Jalan di Malioboro

Malioboro banyak menyimpan sejarah panjang konflik kepentingan antara Keraton dan Pemerintah Kolonial Belanda. Ada beberapa versi yang membahas tentang asal mula nama Malioboro. Dalam catatan Kapujanggan Keraton, nama Malioboro diambil dari nama salah satu Pesanggrahan Djajengrana (Amir Amsjah). Namun pendapat lain mengatakan bahwa Malioboro berasal dari kata Marlborough, gelar John Churcill, seorang kepala wilayah Marlborough pertama yang juga seorang gubernur jenderal Inggris yang cukup terkenal di masanya. Sedangkan menurut P.B.R Carey, berpendapat bahwa Malioboro berasal dari bahasa Sanksekerta, yakni Malyabhara, yang artinya karangan bunga—karena setiap ada perayaan atau prosesi, Malioboro selalu dipenuhi karangan bunga.

Terlepas dari polemik tersebut, yang perlu dicatat di sini adalah Malioboro merupakan ruang tumbuh kembang yang melahirkan para seniman. Salah satu contohnya adalah kesaksian orang-orang yang tergabung dalam Persada Studi Klub (PSK) dan tertuang dalam buku Orang-Orang Malioboro. Dalam buku tersebut Faisal Izmail mengatakan bahwa jika dilihat dari prespektif kesenian dan kebudayaan, hadirnya PSK merupakan sebuah lompatan besar, fenomena kreativitas yang sangat menarik dan mengesankan, terutama bagi masyarakat sastra di Yogyakarta. PSK didirikan atas inisiatif Umbu Landu Paranggi, penyair Yogya kelahiran Sumba yang mengasuh lembaran seni budaya koran Pelopor Yogya yang berkantor di jalan Malioboro, Yogyakarta. Pembentukan PSK dan agenda aktivitasnya semakin menambah banyaknya kegiatan sastra di Yogya yang dikenal sebagai kota pelajar dan budaya.

Kenangan itu, bukan sekadar cerita semata. Namun menjadi hal yang sekaligus menggerakkan Komunitas Ngopinyastro untuk bertemu di Malioboro. Bukan untuk menjadikan Malioboro sebagaimana perannya terdahulu, namun bahwasannya semangat pada seniman terdahulu juga tumbuh dalam jiwa komunitas Ngopinyastro. Turut bergerak dalam Paralell Event Biennale Jogja ke- 14, Ngopinyastro akan menggelar “Street Poetry” dengan mengambil salah satu ikon di kota Yogyakarta yaitu Malioboro, dengan tajuk “Anjangsana: Napak Tulis Malioboro”. Kegiatan ini hendak menghadirkan penampilan terkait dengan dunia sastra, tokoh dan ruang kreatif para sastrawan. Sastra menjadi topik utama dalam gelaran ini juga berupaya untuk merangkul dari berbagai multidisplin seni seperti seni rupa, tari dan musik. Huhum Hambilly, selaku koordinator acara menyampaikan, “Anjangsana adalah serangkaian upacara berbasis pertunjukan, kami hendak berdialog dengan para leluhur abdi budaya, momen ini merupakan estafet meneruskan kerja kemanusiaan sebagai upaya tanggung jawab generasi.”

Gelaran Ngopinyastro Anjangsana: Napak Tulis Malioboro akan digelar pada Jumat, 17 November mendatang. Acara dimulai pukul 19.00 WIB dengan mengambil tempat di titik 0 kilometer Malioboro. Para performer dipertemukan dengan riuh ramai para pelancong dan wisatawan yang datang, bakal hadir act performance seperti pantomim, live mural, musikalisasi puisi dan puisi teatrikal dipilih untuk merespon semangat zaman para tokoh kreatif dalam spirit ruang yang berpendar dari masa lalu sekaligus melakukan penetrasi kepada keriuhan di ruang publik di saat acara berlangsung. Sejauh mana publik menyikapi penampilan itu, sebagai pertunjukkan ataukah kiranya publik menganggap itu sebagai bagian dari Malioboro.

Hadir dalam gelaran ini sebagai penampil, pertunjukkan pantomim oleh Dwitra Hanafi dan Sanggar 28 Terkam,pembacaan puisi dan puisi teatrikal oleh Komunitas Ngopinyastro, Sasmita KMSI, Komeng DKK, dan Perpustakaan Jalanan DIY, live mural oleh Adit Here Here dan Ismu Ismoyo (Kukomikan), musikalisasi puisi oleh Nankinun dan Agus Landro X Alfin (beatbox). Selain para performer dari lintas ruang kolektif, Girli sebagai penampil musik hadir mewakili seniman yang lahir dan masih berkelindan di Malioboro. Iman Budhi Santosa juga akan turut serta membacakan serangkum narasi soal tokoh sastra, seniman dan semangat zaman di Malioboro terdahulu. Tak berlebihan jika menyebut beliau satu dari sekian saksi perihal zeitgeist Malioboro pada masa Persada Studi Klub (PSK) dan beberapa seniman yang turut menaungi Malioboro.

Ngopinyastro mengajak kawan-kawan untuk kembali mendekat, mengingat, dan mencatat: bahwasanya mengapresiasi tidak terbatas pada karya dan empunya karya, akan tetapi juga ruang proses kreatif dalam berkarya. Semangat itu menjadi titik tolak dari kegiatan Anjangsana. Spirit ruang yang pernah menjadi saksi dalam proses kreatif mereka dalam hal ini tokoh, masih tetap ada dan akan bertumbuh hingga kini. Khususnya bagi dunia sastra dan multidisiplin seni di Yogyakarta.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *