PAMERAN TUNGGAL SENI RUPA : SPRIADI & ANWAR M “LELAKU”

Official poster Lelaku

Lelaku: Menggali Rasa

Oleh Kuss Indarto

SUPRIYADI atau S. Priadi, saya kira, sedang masuk dalam fase yang penting pada perjalanan kesenirupaannya. Bagi sebagian seniman, pameran tunggal adalah momentum untuk menunjukkan setidaknya dua hal mendasar. Pertama, kepada publik atau masyarakat seni yang menopangnya, ini menjadi forum bagi seniman untuk melakukan “absensi diri” bahwa dirinya masih atau pantas masuk sebagai bagian dari seniman yang aktif. Ini problem eksistensi(al) yang memang selayaknya harus terus diketengahkan kepada publik. Bukan sekadar eksistensi personal, namun lebih pada eksistensi yang bertumbuh dari pencapaian kekaryaan. Eksistensial yang dilambari oleh problem estetik. Dari problem eksistensial ini kelak akan dibaca oleh publik dengan pemberian identifikasi dan bahkan labeling (pelabelan)—semua itu tergantung pada segenap kode dan tanda yang dihadirkan oleh sang seniman.

Kedua, kepada dunia internal seniman sendiri, sebuah pameran penting kehadirannya untuk memberi jejak tanda atas fase-fase, tahap-tahap atau periode-periode yang pernah ditorehkannya dalam perjalanan kreatif dan kesenimanannya. Dalam pembacaan internal seniman, seyogyanya, dia bisa memberi pemetaan atas dunia gagasan dan pencapaian teknis yang ada dalam perjalanan kekaryaan tersebut. Apakah dunia gagasan dalam benak dan imajinasinya itu bergerak lambat, mentok, mampat, atau malah berjalan terlalu cepat beriringan dengan dunia teknis kekaryaannya yang entah cepat penguasaannya, fasih menghadapi beragam mediam dan teknis, atau sebaliknya justru sang seniman kurang adaptif dengan masalah teknis tersebut. Dengan pameran (tunggal), seniman bisa memberi tengara atau tanda atas perjalanan fase-fase kekaryaannya (kalau ada) sehingga bisa menjadi masukan baginya dan menjadi bahan hendak kemana kreativitas diarahkan.

S. Priadi sendiri, sebelum ini, pernah menghelat pameran yang cukup penting bagi kesenimanannya di tempat yang sama, di Taman Budaya Yogyakarta, pada 18-24 April 2009 lalu. Waktu itu dia pameran bertiga bersama Risdianto dan Yusuf Santosa dengan tajuk “Sebuah Proses”. Trio seniman itu belum pernah melanjutkan untuk berpameran lagi. Kedua rekan S. Priadi bahkan “tumbang” oleh keadaan dan situasi di dalam dan di luar dirinya, yang memaksanya untuk tidak lagi bersikukuh dengan pilihan hidup menjadi seniman. Risdianto terbang ke mancanegara untuk bekerja yang sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia seni rupa. Demikian pula dengan Yusuf Santosa yang memilih berbisnis yang tak memiliki relasi dengan seni rupa—tentu demi alasan survival menghadapi kerasnya hidup. S. Priadi-lah yang bertahan. Setidaknya setelah tujuh tahun berselang dari pameran “Sebuah Proses”, rute proses yang sesungguhnya betul-betul masih dijalani dan dihayati oleh S. Priadi. Saya tak ingin berkesimpulan bahwa S. Priadi menjadi “pemenang” di antara ketiga trio tersebut, namun kita bisa memberi penilaian awal bahwa ada upaya keras, konsistensi dan kegigihan pada diri S. Priadi untuk terus merunuti pilihan hidupnya sebagai seniman. Ini tentu tidak mudah.

Pameran bertiga “Sebuah Proses” waktu itu, sebenarnya, sudah terlihat momentumnya yang kurang tepat. Tahun itu gejolak pasar yang ditengarai sebagai booming seni rupa sudah redup, kehilangan gemuruh dan hiruk-pikuknya. Pelaku pasar seni rupa, mulai dari kolekdol, kolektor sejati, galeri, rumah lelang dan semacamnya, sudah beringsut meninggalkan “medan pertarungan pasar” yang sempat terguyur oleh efek domino dari “Asian art buble” yang diawali di negeri Tirai Bambu, China, pada akhir paruh pertama dasawarsa 2000-an.

Kalau S. Priadi relatif “selamat” meniti waktu dan masalah ketimbang dua rekan lainnya itu, apa yang bisa dibawanya dalam pamerannya kali ini? Itulah yang saat ini, dan terus dilakukan olehnya: meniti proses. Kalau tema kuratorialnya kali ini mengambil tema besar tentang “Lelaku”, kiranya hal itu merupakan pertautan atas tema pamerannya saat bertiga tahun 2009, “Sebuah Proses”. Ini menjadi “lelaku” bagi dirinya sebagai manusia dan seniman untuk menyadari bahwa seluruh perjalanan kemanusiaannya berisi proses terus-menerus. Proses mencari sesuatu yang tak berkesudahan. Dalam terminologi Jawa ada kata “laku” yang secara sederhana diartikan sebagai “cara hidup”, dan bentuk “perluasan” kata tersebut menjadi “lelaku” yang kurang lebih dimaknai sebagai “perjalanan menempuh hidup dengan cara, lewat, dan menuju titik kebenaran”. Pemahaman ini terkadang akan memberi titik beda antara nilai-nilai relijiusitas dan spiritualitas. Karen Amstrong dalam “Sejarah Tuhan” (2013) memberi gambaran yang agak sepadan dengan hal itu dengan menyatakan bahwa orang-orang beriman tahu secara teoritis Allah itu sama sekali di luar jangkauan, bersifat transenden (berjarak dengan manusia), namun manusia berasumsi bahwa manusia itu tahu persis siapa “Dia”, seolah tahu persis apa yang dipikirkannya, apa yang dicintainya, dan yang diharapkannya, dan seterusnya.

Menariknya, bagi masyarakat Jawa, kata “lelaku” itu menjadi kata kerja aktif ketika tertulis sebagai “nglakoni”, dan ini—bagi masayarakat mdern dewasa ini—terasa menjadi sebuah praktik mistik yang dianggap menjauhi logika. Namun justru di sini letak titik menariknya. Di Jawa, orang yang sedang “nglakoni”, misalnya dengan melakukan “laku” prihatin, bermeditasi, membiasakan diri berkonsentrasi di tempat sepi sering mendapatkan pengalaman atau firasat akan kehadiran (“dzat”) yang Ilahi. Kehadiran “dzat” yang menyapa orang Jawa itu bukan muncul melalui akal budi dan pancaindera manusia, melaui rasa, sebagai indera keenam. Masyarakat Jawa tradisional memberi tempat begitu penting atas kehadiran rasa. Indera rasa ini sungguh-sungguh sangat dilibatkan dalam kepribadian Jawa, tidak kalah pentingnya dengan pikiran, sehingga ia sangat berperan untuk melihat laku dan perilaku orang Jawa secara umum. Seseorang bisa disebut sebagai sudah dewasa ketika ia mampu mengendalikan dan menghadikan rasa dalam berkomunikasi dengan orang lain, dalam mengungkapkan dirinya dan dalam komunikasi dengan Gusti Allah, sebagai Rasa Sejati. Tak heran bila ada frasa yang cukup populer bagi orang Jawa, yakni “… yen tak rasak-rasakke..”, sebagai alternatif dari frasa “…yen tak pikir-pikir…”—yang lebih berorientasi pada aspek logika saja. Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) juga memberi penegasan bahwa “makin halus rasa seseorang, makin mendalam pengertiannya, makin luhur sikap moralnya, dan indah segi luarnya”. Dugaan-dugaan atas dunia batin orang Jawa inilah yang kemudian dikorelasikan oleh realitas pada hasil proses penghalusan dunia lahir seperti tarian klasik, music gamelan, tembang macapat, batik dan lainnya. Itu semua adalah artifak penting yang lahir dari dunia batin orang Jawa dengan kepemilikan atas rasa yang telah mendewasakan mereka. Dan rasa itu merupakan hasil dari upaya “lelaku”.

Saya kira S. Priadi tidak secara ekstrem sedang mempraktikkan lelaku seperti yang saya gambarkan di atas. Atau apalagi melakukan praktik lain dari upaya nglakoni yang dalam kepercayaan orang Jawa banyak sekali ragamnya. Kita tahu ada praktik nglakoni dengan puasa yang tujuannya dipercaya untuk membersihkan diri dan batin seseorang. Praktik nglakoni itu antara lain: mutih, yakni puasa dengan tidak makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Lalu ada ngeruh (puasa dengan hanya memakan sayuran atau buah-buahan saja), ngebleng (menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari, tanpa makan, minum, keluar dari rumah atau kamar, tanpa seksual, hingga 24 jam), patigeni (hampir sama dengan ngebleng, tapi tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali selama sehari semalam), ngelowong (puasa tanpa makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja dalam sehari semalam, tapi diperbolehkan keluar rumah), ngrowot (puasa yang dilakukan dari subuh sampai maghrib dan hanya boleh makan buah-buahan, misalnya pisang 3 buah saja).

Ada pula nganyep (puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada rasanya), ngidang (hanya diperbolehkan memakan dedaunan dan air putih), ngepel (puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja), ngasrep (hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja sehari), nyenin-kemis (puasa ini dilakukan hanya pada hari Senin dan Kamis, seperti anjuran rasul Muhammad SAW), wungon (puasa tidak dibolehkan makan, minum dan tidur selama 24 jam), tapa jejeg (tidak duduk selama 12 jam), lelono (melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dari jam 12 malam sampai jam 3 subuh), kungkum (bugil dan berendam dalam air dengan posisi bersila dengan kedalaman air setinggi leher, biasanya dilakukan dipertemuan dua buah sungai), ngalong (tapa dengan posisi tubuh kepala di bawah dan kaki di atas seperti kalong/kelelawar), ngeluwang (tapa dengan menguburkan diri di pekuburan atau tempat yang sangat sepi).

***

Pameran kali ini S. Priadi mengetengahkan visualitas yang beragam meski kalau dicermati dengan seksama, sebenarnya, bertumpu pada satu titik persoalan yang ingin diperbincangkan, yakni spiritualitas. Dikatakan ada keberagaman visualitas karena setidaknya ada tiga gaya pelukisan atas karya-karya yang ditorehkan di atas kanvas.

Pertama, ada satu karya yang menggambarkan kebanggaan bangsa Indonesia, candi Borobudur, yang diekspresikan dengan penyusunan struktur blok-blok warna secara acak namun ritmis. Karya ini merupakan “warisan” yang tersisa dari kecenderungan karya S. Priadi yang dipresentasikan dalam pameran “Sebuah Proses” tahun 2009 lalu. Berikutnya, kedua, ada karya ekspresif semi-abstrak. Satu karya jenis ini terdiri dari gabungan sekian banyak kanvas kecil. S. Priadi mengawali proses karya ini dengan torehan, guratan, dan cipratan warna yang ekspresif sesuai rasa yang dikehendakinya. Kadang bahkan memunculkan accidental form karena memang tidak dirancang untuk menggambar(kan) sebuah bentuk apapun. Baru pada akhir dari proses tersebut, citra bentuk yang dibuat dengan membuat cetakan gambar lalu menyemprotkannya dengan cat kaleng—seperti yang lazim dilakukan oleh para stencil artist(s). Bentuk-bentuk yang dibuat dengan teknik semprot itu adalah citra tentang masjid, pura, kuil, vihara, dan lainnya. Lalu yang ketiga, seniman asal Lumajang, Jawa Timur ini melukisi kanvas dengan teknik saputan langsung yang agak kasar. S. Priadi melukiskan subyek benda yang ada dalam kanvas dengan realitistik, namun sengaja tidak dengan sangat detil. Usapan dan guratan kuas yang dilakukannya pun seperti sengaja tidak dengan saputan halus atau apalagi dengan teknik chiaroscuro—sebuah teknik untuk mendatangkan efek pencahayaan dan volume yang detil yang dikembangkan pada jaman renaisans.

Sementara secara tematik karya-karya tersebut—seperti diinginkan oleh senimannya—mencoba menarasikan tentang hal yang berkait dengan spiritualitas. Ini memang cukup berisiko akan menjebak karena pada beberapa karyanya S. Priadi menggambarkan lanskap perihal rumah ibadah seperti masjid, pura, vihara dan lainnya. Juga ada panorama tentang suasana keriuhan manusia yang dicitrakan sedang melakukan prosesi ibadah pada agama atau kepercayaan tertentu. Kalau dipahami secara “tekstual” mungkin ada benarnya dugaan tentang penggalian atas tema relijiusitas atau perihal agama dalam karya-karya seniman otodidak ini. Namun, lebih jauh dari itu, S. Priadi seolah ingin menekankan bahwa nilai-nilai spiritualitas itu lebih luas cakupannya ketimbang relijiusitas atau hal yang berkait dalam agama. Relijiusitas dirasakannya sebagai sebuah kotak-kotak yang bisa berlainan “standarnya” ketika berhadapan dengan agama yang berbeda. Sementara nilai-nilai spiritualitas melampui kotak-kotak agama tersebut. Dan seperti secuil disinggung di atas—bagi orang Jawa—nilai spiritualitas tersebut adalah siasat atau cara untuk mencari dan mendekatkan kehidupan seseorang manusia pada kebenaran—salah satu nilai hakiki dalam hidup. Atas tema ini, S. Priadi berupaya untuk menampilkan potongan panorama yang menggambarkannya sebagai peristiwa yang bersifat kultural, bukan rigid menyorot aspek ritual keagamaannya.

Kita bisa menyimak salah satu karya untuk sedikit kita kuliti. Misalnya lukisan yang mempertontonkan upacara melasti yang berlangsung di sekitar Tanah Lot, salat satu ikon penting dari pulau Bali. Melasti atau makiyis adalah upacara yadnya yang memilki makna untuk menyucikan diri secara lahir dan batin. Dengan proses penyucian itu maka manusia akan mampu membangun kualitas meningkatkan keheningan pikiran yang lebih baik. Ritual ini juga dihelat untuk memberi kesucian atas jagat raya ini, yang dilakukan dengan prosesi simbolik lewat labuh gentuh dengan labuhan sesaji ke laut. Upacara melasti bagi penganut agama Hindhu di Bali secara umum juga dilakukan dengan cara menyucikan seluruh arca, pratima, nyasa, pralingga. Ini sebagai wujud atau sthana Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasiNya. Acara ini berlangsung setahun sekali, sebagai bagian dari acara peringatan Nyepi.

S. Priadi menggambarkan orang-orang yang terlibat dalam upacara melasti itu sebagai sekumpulan manusia yang bergerak di pantai yang segera menyucikan diri dan bumi dengan membuang kotoran ke laut. Lelaku kumpulan manusia ini tergambar berarak dengan berbagai asesoris pelengkapnya yang khas: umbul-umbul, panji-panji, penjor, leak, ikat kepala pada tiap sosok laki-laki, beragam sesaji yang disunggi di kepala para perempuan, dan sebagainya. Seniman ini, sebagai orang Jawa Timur, pernah beberapa kali secara langsung menyimak peristiwa melasti dengan dengan mata kepala sendiri. Karya ini adalah kesaksian visual S. Priadi atas momen sosial-religi yang kemudian dipindahkan dalam kanvas dalam momen artistik. Pandangan artistiknya mungkin saja masih terbilang turistik dan belum memiliki banyak pendalaman seperti hanya peneliti sosial atau warga setempat. Namun, itulah kerangka dan konsep tentang lelaku yang dimiliki oleh S. Priadi ketika menyaksikan peristiwa di Pelau Dewata tersebut.

Karya-karya lain mengisahkan tentang kuil, pulau sunyi dengan vihara di dalamnya, pemandangan sebuah kawasan kota tua dengan arsitektur kuno khas China atau Asia Timur. Seniman kelahiran Jakarta ini melukiskan panorama-panorama tersebut dengan modal dasar dari pengalamannya menonton film atau youtube tentang subyek itu. Sejauh ini, dia belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya ke daratan China atau kawasan Asia Timur—seperti subyek yang dilukisnya. Fakta seperti ini memang unik, sekaligus aneh meski bisa berisiko ketika dihadapkan atas persoalan detail. Misalnya tentang detail pada sebuah bangunan atau arsitektur lokal, karakter flora yang berkembang di kawasan tersebut, pola bukit atau gunung, dan sebagainya. Ini tak beda jauh dengan contoh yang cukup monumental, yakni sastrawan Asmaraman Kho Ping Ho dari Solo, Indonesia. Pengarang cerita silat terkenal di tanah air ini selalu mengambil pengisahan dalam lakonnya dengan setting di negeri China. Hampir semua tokoh dalam lakon yang diangkatnya memiliki nama Tionghoa—yang kadang sulit dihafalkan oleh orang Indonesia. Namun, anehnya, Kho Ping Ho sama sekali tidak pernah pergi ke tanah leluhurnya tersebut—bahkan hingga wafat dan menutup semua lakon silat yang ditulis dan membesarkan reputasinya.

Dengan demikian, maka karya-karya S. Priadi yang bersubyek visual tentang bangunan dan lanskap tentang negeri China tak bisa sepenuhnya dinilai dari masalah kemampuannya mengarap secara detil, atau apalagi aspek filosofis yang ada di dalamnya. Namun kita bisa menyimak aspek lain di luar problem detil visualnya, yakni soal nilai-nilai spiritual yang mungkin bisa ditangguknya. Atau mudahnya, aspek spirit (semangat) yang ada dalam karya tersebut. Misalnya spirit tentang kebersamaan, tentang unity pada sekumpulan bangunan yang dikurung secara ritmis dan harmonis oleh bebukitan, dan lainnya.

***

Sampai di titik ini, perbincangan bisa berlanjut dengan pertanyaan: pada problem apakah tema tentang lelaku ini memiliki relevansi? Dugaan pun akan bertumbuk pada realitas personal sang perupa sendiri. Tentu saja dugaan ini bisa ditampik sama sekali, atau sebaliknya, bisa dijadikan landasan atas kemungkinan yang berkait dengan tema itu.

S. Priadi, lelaki kelahiran 12 Juli 1975 ini mengaku bahwa nama yang menempel sebagai identitas diri sekarang ini sedikit berbeda dengan nama yang awal diberikan oleh orang tuanya. Tahir Supriyadi, nama pertama yang diberikan. Setelah menginjak usia beberapa tahun, kondisi kesehatannya tidak sangat sempurna. Supriyadi kecil tidak jarang sakit-sakitan. Kondisi ini meresahkan kedua orang tuanya. Oleh salah satu tetua di lingkungannya, disarankan agar nama anak kecil itu perlu diubah karena dianggap terlalu “membebani” si anak. Kata “tahir” berarti bersih, suci atau murni. Sementara kata “su” berasal dari bahasa Jawa yang berarti baik, dan kata priya atau priyadi mengindikasikan sebagai pria atau laki-laki. Kata atau nama Supriyadi kiranya telah cukup kalau anak ini kelak diekspektasikan sebagai “pria yang baik”. Kata “tahir” tampaknya terlalu superlative, berlebihan, maka terlalu memberatkan si bocah. Dan dengan demikian perlu dikoreksi.

Demikianlah, anak ketiga dari empat bersaudara keturunan pasangan Slamet Sumaryo dan Indun ini awalnya bertumbuh di sekitar Menteng, Jakarta—bersama dua kakaknya: Hendra dan Sri Sumarni, serta seorang adik laki-laki bernama Irfan. Namun masa kanak-kanaknya di metropolitan tidak genap karena kemudian kawasan mereka tinggal (di bantaran sungai) itu terkena banjir besar. Pemerintah daerah tak mengizinkan lagi untuk tinggal di kawasan tersebut. Maka, pulanglah keluarga Slamet Sumaryo yang sehari-hari menjai seorang sopir taksi itu ke Klakah, Lumajang, Jawa Timur.

Saat S. Priadi menginjak kelas I SMP, hempasan masalah pun mendera. Kedua orang tuanya berpisah. Anak-anak mengikuti sang ibu, sementara ayah mereka berdiam di kecamatan berbeda. Beruntunglah bahwa semua anak ini mampu menyelesaikan studi hingga di sekolah menengah atas—sama dengan rata-rata anak di lingkungannya. Pilihan S. Priadi adalah masuk di Jurusan Otomotif di STM Negeri Klakah, Lumajang, dan diselesaikannya pada tahun 1993. Usai itu, sebagai anak yatim, tuntutan untuk hidup mandirilah yang membuatnya harus secepatnya mencari penghidupan sendiri, yang tak lagi merepotkan orang tua, khususnya sang ibu.

Dia bekerja di kotanya, Lumajang, juga di kota yang lebih besar, Surabaya. Lelaku sebagai buruh dialami sejak lulus sekolah. Tahun 1997 garis nasib pun dilengkapinya dengan merantau menjadi seorang TKI (tenaga kerja Indonesia) di negeri jiran, Malaysia. Pengalaman jauh di rantau dilakoni hingga tahun 2000 setelah dia memutuskan untuk pulang. Dan pilihan sementara adalah menjadi buruh serabutan/pocokan yang mengerjakan apapun.

Tahun 2001 adalah tahun penting baginya ketika memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta untuk bekerja pada seseorang yang mempekerjakan sebagai penggarap kerajinan figura cermin. Dari situlah kemudian laju naik-turun, zigzag dan lompatan-lompatan perjuangan dan nasibnya bergerak mengikuti waktu. Ada suatu masa ketika dia tinggal di kawasan Nitiprayan, Kasihan, Bantul, yang membuatnya kenal dengan dunia seni rupa. Tembok keterbatasan awalnya tampak besar karena dia tidak pernah mengenyam pendidikan seni rupa. Itu tak menyurutkan dirinya yang secara pelahan masuk di dunia tersebut. Semuanya datang tanpa diduga.

S. Priadi sesekali main ke sebuah studio yang tak jauh dari rumah kontrakannya, dan melihat beberapa pekerja seni sedang menuntaskan lukisan orderan. Setelah sering main, sedikit demi sedikit dia memperhatikan orang-orang di ruang kerja itu yang bekerja mengecat, memberi warna tertentu pada kanvas, ada yang memasang kanvas pada spanram, ada yang membuat packing untuk lukisan yang telah dipesan pencinta seni, dan lainnya. Lama-lama, pemilik studio tersebut—Chusing namanya—menawarkan padanya untuk bekerja di situ. S. Priadi pun menerima. Dan pergulatan di dunia seni rupa pun diawalinya dari menjadi seorang tukang yang membantu mengerjakan hal mendasar dalam praktik kerja seni rupa. Tentu banyak hal yang dikerjakan di situ masih jauh dari kapasitasnya sebagai seniman. Dia merasakan betul sebagai tukang yang mendukung jadnya lembaran-lembaran lukisan pesanan yang kemudian beredar kemana-mana.

Sosok S. Priadi masih mengingat betul betapa dia melakukan kerja awal di situ sebagai tukang mengeblok warna pada sebuah kanvas sebelum akhirnya hasil blok-blokan warnya itu diteruskan oleh orang lain yang lebih piawai untuk dibentuk menjadi lukisan yang lebih kompleks, kaya warna, dengan bentuk-bentuk yang juga beragam. Baginya, di situlah “sekolahan” yang turut menyumbang kemampuannya. Ada rekan-rekan yang sangat diingatnya yang menjadi seniornya di situ, seperti: Sarindi, Slamet, Heri Tarjo, Boeyan, Yusuf, dan lainnya. Masih pula diingatnya lukisan pertama yang dibenahinya karena ada kerusakan, yakni lukisan seniman Dipo Andy—yang sekarang menjadi salah satu perupa cukup ternama di negeri ini.

Pengalaman inilah yang secara pelahan memberikan nyali dan semangat untuk menjadi seniman. Tentu upaya ini tak mudah, karena dia harus melewati sekian banyak proses dan lelaku yang kompleks dan penuh masalah. Ketika dia mulai lancer melukis dengan ide sendiri pun, tantangan untuk berani memutuskan menjadi seniman seutuhnya tidak bisa langsung dilakoni dengan konsisten dan keteguhan hati. Apa boleh buat, ada banyak problem mendasar yang mesti dia penuhi sebagai orang perantauan. Misalnya, pada tahun-tahun sebelum dan sesuah berpameran bertiga di Taman Budaya Yogyakarta, dia membantu sebagai artisan bagi Butet Kertaradjasa yang juga rajin melukis. Sebagai artisan, dia banyak menimba pengetahuan atas kemampuan Butet yang masih piawai melukis meski waktunya kini banyak tersita di luar dunia seni rupa. Bertahun-tahun kemudian S. Priadi membantu proses kelahiran karya seniman lain seperti Nasirun juga Faizal. Semua itu dilakukan dengan kesadaran bahwa itulah bagian dari lelaku-nya sebagai manusia yang ingin melabeli diri dengan sebutan seniman. Sungguh tak mudah.

Kalau kali ini dia tampil dengan identitas diri S. Priadi sebagai seniman, dia mengakui masih memiliki banyak bopeng yang perlu ditambal dan diparipurnakan di sana-sini. Dia paham dengan adanya batas-batas yang pasti dimiliki oleh setiap seniman—apapun kualitas dan levelnya. Kesadaran bahwa dirinya berangkat sebagai seniman bukan dari jalur akademik, tapi dari jalur otodidak, tentu, akan membawa konsekuensi dan risiko tersendiri. Meski sudah barang pasti dualisme antara akademik-otodidak ini terkadang pada satu dua kesempatan mulai basi dan kurang menemukan relevansinya. Seni rupa, atau publik seni rupa, tetap menantikan kualitas pencapaian karya seniman, bukan berdasar dari mana dia berasal. Tapi kalimat tadi bukan “pil penenang” yang meninabobokan karena seniman seperti S. Priadi memang harus bekerja lebih keras lagi. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus dicermati: mulai dari menyeimbangkan antara kemampuan teknisk berkarya dan kepiawaian dalam menglah dunia gagasan bagi karyanya. Kemudian ada tuntutan secara langsung atau tak langsung untuk membangun jejaring kerja agar keberadaan diri dan karyanya bisa lebih luas cakupannya, kemampuan untuk melakukan pricing management yang baik, dan sekian banyak persoalan yang lain. Jadi seniman memang tidak mudah, bung. Ini perlu lelaku yang secara terus-menerus, konsisten, proporsional dalam bersikap, dan lainnya. Tapi tetaplah optimis! ***

Kuss Indarto, kurator seni rupa.

Sepanjang Sungai Luk Ulo
(Jalan Seni Lukis Anwar Musadat)

Suwarno Wisetrotomo
Kurator

Anda tahu Luk Ulo? Kemungkinan besar tidak. Mungkin juga belum tertera dalam peta resmi bikinan institusi Badan Informasi Geospasial (BIG; dulu bernama Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional/Bakosurtanal) Republik Indonesia. Luk Ulo adalah nama sebuah sungai, berhulu di pegunungan Serayu, mengalir melewati Banjarnegara, Wonosobo, dan Kebumen. Hilirnya di Tanggul Angin, Kebumen, dan bermuara di laut lepas Samudra Indonesia. Panjang sungai Luk Ulo 68.5 kilometer, dengan lebar kira-kira sama dengan sungai Progo. Bebatuan di sungai Luk Ulo bermutu istimewa, dan sempat menjadi area perburuan para pencinta batu mulia. Sungai Luk Ulo merupakan yang terbesar dan terpanjang yang melintasi daerah Kebumen, serta menjadi sumber mata air, juga untuk kepentingan pertanian bagi masyarakat Kebumen, Jawa Tengah. Di tempat itulah, Anwar Musadat memiliki kenangan; sering singgah ketika melakukan perjalanan panjang untuk mencari donasi bagi kepentingan pondok pesantren, semasa ia menjadi santri.

Di sekitar sungai itu, terdapat desa Wotbuwono, Kecamatan Klirong, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Di desa itulah Anwar bertemu seorang perempuan bernama Uswh Almaqdisy, yang akhirnya dinikahi pada 30 Juli 2008. Dari pernikahannya itu, lahir dua anak lelaki, Wijdan Najjuan Almaqdisy (9 tahun), dan Patusajjani raya Shangsa (4 tahun; usia ini ketika naskah ini selesai ditulis pada tahun 2017). Mereka pernah tinggal di Kebumen, yang membuat Anwar demikian akrab dengan berbagai legenda dari daerah itu, yang kini kerapkali dijadikan tema karya lukisannya.

Baiklah. Sekarang tahukah Anda siapa Anwar Musadat? (mirip nama pemimpin Mesir Anwar Sadat). Saya duga Anda juga belum mengenal benar siapa Anwar Musadat. Ia adalah seorang laki-laki berusia menjelang 40 tahun (dilahirkan di desa Mlangi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 21 Juni 1977 dari pasangan Mujahit (ayah, alm.) dan Damamiyah (ibu, kini berusia sekitar 80 th). Anwar memutuskan dengan tekad bulat ingin menjadi pelukis, seperti yang pernah ia impikan sejak usia anak-anak. Niatnya menjadi pelukis melewati jalan unik penuh tikungan, tetapi mirip airan sungai yang selalu mengarah pada muara.

Hingga usia 15 tahun, Anwar tinggal bersama kedua orang tuanya dan sekolah di wilayah Sleman. Setelah menamatkan sekolah SMP 15 Gamping (kini SMP 3 Gamping), ia berencana melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta (kini bernama Sekolah Menengah Kejuruan/SMK 3 Kasihan, Bantul). Semua persyaratan ia urus semua, tinggal minta ijin ayahnya. Akan tetapi kenyataan sebaliknya yang ia peroleh. Ternyata sang ayah tidak merestui, karena menghendaki Anwar ‘mondhok’ atau ‘nyantri’, sebuah istilah untuk menyebut seseorang yang menjadi siswa di pondok pesantren. Ya, ayahnya menghendaki Anwar sekolah di pondok pesantren. Ayahnya sangat berharap, salah satu anaknya ada yang menjadi santri, kelak menjadi Kyai yang mampu mengelola (memiliki) pesantren. Argumen lainnya, karena kakak sulungnya (namanya Haitami El Jahid) sudah sekolah di SMSR, dan hanya kerja ngurusi seni. Anwar remaja mencoba bernegosiasi dengan ayahnya. Tetapi inilah jawaban sang ayah, “kalo mau mondhok, kamu ngerokok boleh, tapi kalo mau sekolah, silakan bapak siapkan becak, cari biaya sendiri”. Jawaban ayahnya yang berliku itu sesungguhnya bernada ancaman, dan tak bisa ditawar. Tak ada pilihan lain, ketika empat kakaknya akhirnya juga mendorong Anwar untuk mondhok. Anwar, bungsu dari dari lima bersaudara, mengalah, akhirnya memutuskan “mondhok”, jadi santri.

Keputusan mondok menjadi santri, secara efektif memutus impian Anwar untuk belajar dan menjadi seniman/pelukis. Akhirnya Anwar mondhok di Pesantren Bareng, daerah Njekulo, Kudus, Jateng (1993), pada usia 16 tahun (usia SMA), sampai 1995. Riwayat ke-santrian-nya penuh drama; antara lain harus menjalankan tugas mencari dana sumbangan ke berbagai pelosok untuk kepentingan membangun pondok (“itu alasan yang selalu dikemukanan Kyai” kata Anwar), menghadapi sejumlah persoalan yang menegangkan, karena meski sudah di atur secara berkelompok dan tidak boleh sama wilayahnya dengan kelompok yang lain, yang seringkali dilanggar dan menjadi bentrok antar kawan, atau juga bentrok dengan pemuda setempat karena berbagai hal yang menyebabkan salah paham. Rasa lapar dan lelah menjadi pakaian atau laku keseharian. Karena kelewat sering berada dalam situasi semacam itulah akhirnya sekalian ia niatkan menjadi puasa setiap hari.

Selama di pesantren, mencari dana, sumbangan, untuk membangun pondok, merupakan ‘pelajaran utama’ (yang pada gilirannya kelak, itulah yang dipertanyakan Anwar, mengapa tak memperoleh ilmu agama, dan kemudian ia berpindah-pindah dari pesantern yang satu ke pesantren lainnya). Jarak tempuh ketika mencari dana, tak tanggung-tanggung jauhnya; ke arah timur sampai Pasuruan, Kediri, Trenggalek, Gresik, dan yang paling dekat di sekitar Jepara. Tata cara semacam itu lazim dilakukan oleh pesantren “hikmah”. Mencari dana merupakan salah satu pelajaran “pesantren hikmah” – dalam rangka menyerap ilmu dari kyai, dengan menjalankan puasa ndalail, puasa sepanjang waktu, tanpa jeda, kecuali pada hari tasrik. Selama di Kudus, secara mental Anwar menjadi militant dalam menjalankan hidup. Seluruh orientasi hidupnya terfokus pada pesantren.

Kehidupan di pesantren hikmah ia jalani selama tiga tahun. Artinya, selama tiga tahun itu pula, impian menjadi seniman seperti terkubur, tergantikan oleh bayangan menjadi kyai, membangun pondok, dan punya santri. Selama tiga tahun adalah kegiatan agama, dan hikmah (patuh) terhadap perintah guru (kyai), di samping secara patuh pula menjalankan kehendak serta cita-cita sang bapak. Selama di pesantren Kudus, ternyata Anwar tak hanya menjalankan kegiatan keagamaan, tetapi juga kegiatan yang ia sebut supra natural (metafisis); olah raga dan olah kanuragan (olah kesaktian fisik).

Setelah tiga tahun di Kudus, Anwar menimbang untuk pindah pesantren, karena merasa sudah memiliki kemampuan seperti yang diajarkan para kyai. Namun bersamaan dengan itu, muncul kesadaran terkait ilmu pengetahuan agama yang ia miliki. Ia mempertanyakan kemampuan dirinya, di luar kemampuan atau kebiasaan latihan spiritual atau tirakat (yang sering disebut sebagai ‘ilmu riadhoh). Atas dasar kesadaran itu, Anwar pamit dari pesantren Kudus, untuk pindah ke pesantren Pethuk, Kediri (1995 akhir), dengan niat agar bisa membaca kitab kuning. Di pesantren ini ia hanya bertahan selama 3 hari. Lalu pindah lagi di pondok Lirboyo, Kediri, tinggal selama 10 hari, karena suasananya menyenangkan. Tetapi Anwar tidak cocok dengan lingkungannya, yang ia anggap terlalu padat. Lalu pindah ke pasantren Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, yang juga hanya bertahan selama 10 hari, karena merasa tidak cocok dengan suasananya.

Berpindah-pindah pesantren dalam waktu singkat itu, menjadikan Anwar merasa putus asa. Ia memutuskan untuk pulang, kembali ke Jogja. Dalam perjalanan pulang, ia mampir pondok Tegalrejo, Magelang, benar-benar hanya berniat singgah untuk istirahat sejenak. Namun tanpa diduga, ia bertemu dengan sejumlah teman, dan terlibat diskusi yang menyenangkan. Ia jatuh hati dengan suasana pondok Tegalrejo, dan memutuskan untuk menjadi santri. Di pondok Tegalrejo sampai tahun 1999 (selama 4 tahun). Seharusnya ditempuh selama 6 tahun, tetapi hanya empat tahun karena Anwar memiliki kemampuan untuk percepatan (akselerasi) program. Ketika masuk di pondok Tegalrejo, Anwar sudah dianggap memiliki kemampuan tingkat sorof (tata bahasa, sederajat dengan kelas satu SMA), alfiyah (lanjutan tata hasa), dan wahab (fiqih). Baru kemudian tingkat mahali (pendalaman fiqih), buchori (ilmu hadist), ihya ulumuddin (tasawuf; sebagai puncak dari penguasaan ilmu agama islam). Anwar bahkan dapat melewati kelas mahali dan buchori, kemudian langsung ke tingkat ihya ulumuddin. Selama di pesantren Tegalrejo itulah, Anwar merasa baru mendapatkan ilmu pengetahuan agama yang sebenarnya, meningkat kemampuan bercakap dan berdebat agama, karena terbiasa berdiskusi agama secara ilmiah.

Selama bertualang di berbagai pondok, Anwar sudah terbiasa membaca karya-karya sastra, yang diambil dari perpustakaan kakaknya (Haitamy El Jahid) yang kebetulan bekerja di sebuah penerbitan buku-buku kebudayaan, antara lain buku-buku sastra. Dari berbagai bacaan itu menyadarkan dirinya, bahwa dalam bercakap atau berdebat, diperlukan kosakata untuk kepentingan beretorika yang baik dan indah. Akhirnya ia merasa memiliki kelebihan dalam hal retorika, karena bacaan-bacaan itu. Kawan-kawan seangkatan di pondok, kemudian menjulukinya sebagai ‘seniman dari Jogja’ yang pandai beretorika. “Padahal sebenarnya kalau berdebat, saya hanya sering mengutip kata-kata Cak Nun” kenang Anwar sembari terkekeh. Namun demikian julukan ‘seniman dari Jogja’ itu membuatnya gembira dan tebal rasa percaya dirinya. Lebih dari itu, mimpi lamanya untuk menjadi seniman, seperti terkuak lagi.

Rupanya itulah momentum yang tengah menghampiri dirinya. Mimpi lama bersemi kembali. Sesungguhnya, kegiatan corat-coret menggambar bukanlah kegiatan baru. Ia sudah sering melakukannya, untuk kebutuhan ‘menghibur diri’. Karena keputusan sang bapak, sejak ia masih usia anak-anak, di rumah tak pernah ada televisi. “Saya menggambar sambil membayangkan nonton teve, setelah selesai, gambar-gambar saya pajang di dinding, saya tonton, dan asik seperti nonton teve” kata Anwar mengenang. Rupanya dengan cara itulah imajinasinya berkembang. Gambar-gambarnya adalah serpihan-serpihan riwayat – yang ia lihat, dengar, dan alami – untuk diceritakan kembali.

Beberapa pelukis senior menginspirasi dirinya. Salah satunya adalah perupa Nasirun, yang ia kenal melalui kakak sulungnya (pada 1996). Sebagai seseorang yang sedang ingin menggapai mimpi, ia mencari cara, bagaimana agar bisa bertemu dan berkenalan dengan Nasirun, seniman yang dikagumi. Akal ia mainkan, dengan nekat mendatangi rumah Nasirun, sambil membawa sebuah ikat pinggang yang disebut ‘sabuk sakti’ pemberian seorang Kyai dari Kudus. Ikat pinggang ‘sabuk sakti’ itu ia peroleh ketika ‘nyantri’ pertama kali di pesantren Kudus yang mengajarkan kanuragan. Nasirun, secara terbuka menerima kedatangan Anwar yang belum dikenalnya. Anwar ‘berpura-pura’ menawarkan ‘sabuk sakti’ kepada Nasirun, meski niat sesungguhnya adalah ingin berkenalan, dan selanjutnya bisa belajar padanya. “Tentu saja Mas Nasirun menolak membeli ‘sabuk sakti’ itu, dan hanya memberi saya uang, sambil meminta saya pergi” kenang Anwar sambil terkekeh. “Saya sangat lega, karena saya dapat berkenalan” katanya lagi.

Perkenalan dengan Nasirun melalui jurus ‘sabuk sakti’ ternyata memang sakti, karena Anwar datang lagi, datang lagi, dan datang lagi ke Nasirun, yang dengan terbuka menerimanya. Pada setiap liburan Maulud Nabi Muhammad dan Idul Fitri, ia selalu datang ke rumah Nasirun, berbincang dan melihat Nasirun melukis. Anwar merasa, itulah saat-saat nyantri seni lukis ke ‘kyai’ Nasirun.

Akhir 1999, Anwar menyelesaikan pendidikan dari Pondok Tegalrejo, kemudian sempat ke Pesantren Pasuruan, Jawa Timur, selama sebulan. Setelah itu Anwar memutuskan mukim, sebutan untuk menamai seorang santri yang tinggal di rumah (kediaman orang tuanya di Yogyakarta) sepenuhnya. Pasca mondhok bagi Anwar adalah hari-hari penuh petualangan. Ia pernah ikut kelompok seni karawitan campur sari “Jampi Strees” sampai 2004. “Jampi Strees” adalah kelompok karawitan campur sari milik Gun Jack, tokoh pemuda Jogja.

Pada tahun 2005, Anwar bertekad kembali masuk dunia pesantren, bukan sebagai santri, tetapi mendirikan pesantren di atas tanah wakaf, di desa Mbeji, Sidoarum, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Nasirun adalah donatur utama pendirian pesantren ini. Sambil terus melukis, Anwar mengurus pesantren, memberikan pengajian-pengajian. Akan tetapi, di tengah perjalanan terjadi selisih komunikasi antarpengurus pesantren, terutama antara dirinya dengan salah seorang mitranya, yang berujung pada keputusan: ia tidak lagi menjadi pengurus, dan keluar dari pesantren tahun 2007.

Sejak itu Anwar sepenuhnya kembali kepada impian lama, menjadi pelukis. Ia semakin dalam dan jauh terlibat dengan banyak pelukis, berkenalan, banyak berbincang. Untuk menopang kehidupannya, sempat berbisnis barang-barang bekas (klithikan) pada tahun 2008, sambil terus melukis dan meluaskan pergaulan. Anwar juga bertemu dengan Ugo Untoro, mendengar nasihat-nasihatnya, melihat cara kerjanya, dan sebagainya. “Dari Mas Ugo saya mendapatkan banyak pengetahuan dan motivasi. Mas Ugo adalah pendorong yang baik” kata Anwar.

Liku-liku lelaku perjalanan kesenian Anwar Musadat menemukan titik lajunya ketika Nasirun mempertemukannya dengan Agung Tobing (tahun 2014), promotor seni rupa. Agung Tobing segera menangkap potensi Anwar, dan memutuskan untuk mempromosikan karya-karyanya, dengan cara membeli beberapa lukisannya dan mengagendakan pameran tunggal. Inilah yang saya sebut sebagai titik laju perjalanan menuju impian menjadi pelukis seorang Anwar Musadat.

Lelaku Rupa Anwar Musadat
Kini hari-hari Anwar Musadat sepenuhnya adalah melukis. Cita-cita yang tumbuh sewaktu masa kanak-kanak, seperti tumpah dan mengalir menuju muara “samudra” seni rupa. Seluruh pengalaman laku kehidupannya merupakan deposito pengalaman yang menjadi sumber inspirasi bagi karya-karya lukisannya. Karena itu, pada setiap karya dapat dilihat sebagai panel-panel narasi peristiwa, narasi dongeng atau legenda, yang ia lihat atau dengar dari berbagai sumber. Anwar bisa ulang-alik, masuk dan keluar dari berlapis waktu lampau dan waktu kini. Karya-karya lukisan Anwar dapat dibaca sebagai ‘rekaman peristiwa’ kehidupannya yang berliku, penuh tegangan, dan menjadi semacam catatan harian visual. Juga bisa dilihat sebagai sebuah metode, bagaimana Anwar bergerak dan berpikir dengan seni lukis sebagai upaya memaknai masa lalunya. Pada sisi yang lain, karya-karyanya dapat digunakan sebagai semacam jendela untuk melihat Anwar yang lalu, yang kini, dan yang akan datang. Mari kita lihat karya-karya Anwar Musadat dari dekat secara seksama.

Yang segera terlihat adalah, bahwa karya-karya lukisan Anwar selalu padat dengan bentuk dan garis, riuh dengan warna, ruang yang berhimpitan, berwatak naratif, dan menunjukkan jalinan kisah seperti dalam komik. Agar dapat melihat perjalanan ‘cara bertutur’ Anwar, dapat dimulai dengan melihat sebagian karyanya yang berangka tahun 2014. Lukisan berjudul “Kisah” (2014) adalah cerita yang disusun secara riuh, berpencaran, dengan bentuk-bentuk ganjil, dengan warna yang sederhana; kuning, hijau, dan garis-garis hitam. Karya ini dapat dimaknai sebagai sepenggal fase kehidupan Anwar, yakni fase mengembalikan impian lama sebagai pelukis dengan semangat yang besar, dan ingin berbagi kisah dengan orang lain. Wajah-wajah murung dalam lukisan itu dapat dibayangkan adalah wajah dirinya, yang tengah berlayar menggunakan perahu sederhana, menuju ‘wilayah’ harapan, sambil mencari identitas dirinya yang tersingkir selama beberapa tahun. Perhatikan posisi perahu itu, yakni berada di tepian batas antara lautan dan daratan, yang di kedua wilayah itu penuh dengan makhluk kompetitor dan (mungkin) juga para predator. Warna yang monokromatis menunjukkan betapa masih pekatnya beban pencarian itu.

Masih pada tahun yang sama (2014), tampaknya Anwar mulai meyakini pilihan jalan petualangan seninya. Karyanya lebih jelas menggambarkan posisinya; sebuah pesawat seperti helikopter tapi lebih ganjil bentuknya, terbang di atas pulau kecil, di tengah bentangan lautan. Pesawat itu sibuk mengangkut sejumlah orang yang ada di pulau maupun yang ada di kapal-kapal kecil di lautan, dengan menggunakan tangga. Di kejauahan, terdapat panorama gunung-gunung, dengan kaktus tumbuh di atasnya. Bentuk-bentuk, komposisi, dan warna dalam lukisan ini mengingatkan pada karya perupa Heri Dono. Saya kira memang karya ini menjadi bagian dari serapan atas sosok Heri Dono yang mempengaruhi dirinya, dan memang ia kagumi.

Karya-karya Anwar pada tahun berikutnya (2015), tampaknya mulai lebih berwarna, dan pelan-pelan lepas dari bayang-bayang para seniornya. Ia lebih leluasa mengembangkan imajinasinya, tak hanya sekitar kisah dirinya, tetapi sekitar alam, dongeng, mistik, atau legenda. Salah satu contohnya lukisan “Legenda Hutan” (2014); lukisan yang bertumpu pada garis-garis (outline), ornamentik, tetapi terekspresikan suasana ringan hatinya.

Suasana ringan beban hatinya itu, rupanya menjelma menjadi kegembiraan yang lebih warna-warni, seperti dapat dilihat pada karya-karya tahun 2015 dan 2016. Imajinasinya semakin liar, muatan narasinya semakin padat, dan bentuk-bentuknya semakin unik. Pengaruh-pengaruh dari para seniornya, sudah terinternalisasi menjadi bentuk-bentuk milik Anwar. Karya bertajuk “Perjalanan Sulastri” (2015) bertolak dari cerita rakyat daerah Kebumen, tentang cinta tak sampai. Meski bertolak dari drama yang getir, Anwar menyajikannya dengan warna-warni. Gejala rupa yang hampir sama juga ada pada karya “Berebut Ronggeng” (2015), tentang kericuhan pada pentas Ronggeng. Karya-karya ini tetap enak dinikmati, meski kehilangan unsur dramatiknya.

Terkait dengan legenda dan fakta, Anwar melukiskan sungai Luk Ulo (yang saya gunakan untuk judul catatan ini) sebagai ‘sungai naga’ yang memberikan kehidupan bagi seluruh makhluk hidup. Kehidupan memang menjadi lebih hidup dan penuh warna karena air terus mengalir (lihat karya “Air Luk Ulo”, 2015). Sungai itu berliku seperti ular/naga yang bergerak, kepalanya kecil diujung kiri atas, memuntahkan air yang bertemu ujung ekor di kiri bawah. Di sekitarnya, pepohonan tumbuh, makhluk hidup bergerak. Air Luk Ulo menjadi sumber kehidupan yang menggerakkan semua makhluk hidup. Seperti Anwar Musadat yang terus bergerak, menumbuhkan harapan, menjemput mimpi menjadi kenyataan.

Karya-karya Anwar tahun 2016 terus bergerak menuju pada kesadaran artistik yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya. Tema-tema legenda atau kehidupan sehari-hari, tetap menjadi sumber inspirasi, bercorak dekoratif/ ornamentik, namun lebih memiliki kesadaran ruang. Bidang gambar tak lagi penuh sesak dengan beragam bentuk yang berebut meminta perhatian. Karya-karya tahun 2016, narasi dibangun dengan lebih terorganisasi. Sejumlah contoh dapat disebutkan seperti berikut ini. Lukisan bertajuk “Dragon Dance” (2016), meski riuh dengan warna tajam, namun segera dapat dikenali adegan ‘pertarungan’ dua naga yang digerakkan oleh sejumlah pemain/penari. Tata rupa yang hampir sama, riuh tetapi jelas narasinya, dapat dilihat pada karya “Kirab Kemenangan” (2016); yang terinspirasi dari ephos berlatar Cina. Seluruh elemen bentuk dalam karya ini dipersonifikasi menjadi ‘makhluk hidup’, sehingga citra perayaan (kirab; karnaval keliling) berhasil dicitrakan dengan baik.

Dua karya berikut ini menggunakan tata rupa dan bentuk yang agak berbeda dengan yang lainnya, lukisan “Perahu” dan “Pohon Besar” (2016); lebih fokus pada sumber utama cerita, yakni perahu dan pohon besar. Sebuah “Perahu” yang bermuatan penuh orang, barang, binatang, tumbuhan (bersumber dari kisah Perahu Nabi Nuh?) tengah berlayar di lautan biru yang tenang, dikitari oleh binatang-binatang laut, juga diatapi oleh langit biru yang pekat. Karya ini berhasil memvisualisasikan citra bergerak dengan indah. Kemudian pada karya “Pohon Besar”; sebuah pohon, atau tepatnya ‘rumah pohon’ tempat berteduh, atau bahkan tempat hunian manusia, segala macam binatang, dengan latar seperti pelangi, mencitrakan kegembiraan. Berbeda dengan karya “Perahu” atau “Kirab Kemenangan” yang menghadirkan citra gerak, maka karya “Pohon” adalah tentang kegembiraan yang diam.

Anwar juga menggarap tema ‘sejarah Nabi’, misalnya pada dua karya “Perjalanan Adam dan Hawa” dan “Perjalanan ke Bumi” (2016); seperti tertera pada judulnya, kedua karya ini bertutur tentang Nabi Adam dan Hawa, setidaknya dalam tafsir seorang Anwar Musadat. Pada karya “Perjalanan Adam dan Hawa” dapat dibaca sebagai sepenggal kisah makhluk Tuhan ketika masih berada di surga yang dikelilingi oleh sejumlah bidadari, penuh warna-warni keindahan. Eksperiman Anwar pada karya ini menarik; kehidupan surgawi dicitrakan dengan warna-warna terang bersandingan, lelehan-lelehan yang dibiarkan saling menimpa. Begitulah gambaran surgawi menurut Anwar. Tetapi, kehidupan surgawi itu rontok, ketika Adam melanggar aturan Tuhan, menjadikan ia berdosa, dan akibatnya bersama Hawa harus turun ke bumi. Dua makhluk itu, sembari berangkulan, melakukan perjalanan ke bumi, di sambut makhluk-makhluk bertanduk, dan suasana yang muram (hijau gelap pada langit yang luas; dan abu-abu pada semua makhluk dan daratan). Dosa membuat keindahan menjadi kelam.

Melihat perkembangan visual karya-karya Anwar Musadat, menunjukkan perkembangan jalan keseniannya. Ia memiliki pengalaman kehidupan pribadi yang ditempa oleh kerasnya kehidupan pesantren, tumbuhnya disiplin yang unik dan militant, namun secara unik pula ia memiliki tikungan-tikungan jalan kehidupan yang melumerkan kekerasan jiwa raganya. Pertemuannya kembali antara mimpi lama (menjadi pelukis/seniman) dengan para seniman yang mempesona dirinya, sangat menentukan pilihan kehidupan yang kini dijalaninya, yakni menjadi pelukis. Karya-karyanya sepenuh-penuhnya adalah menyuarakan perihal jiwanya yang bebas.

Anwar dan Seni Lukis Kini
Praktik seni lukis tak pernah mati. Pelukisnya bisa siapapun yang berbakat dan berminat. Kualitas seni (lukisan) bersanding dengan argumentasi-argumentasi (pelukisnya) dan pemaknaan-pemaknaan yang memiliki otoritas (kritikus, kurator, jurnalis seni), yang membuat semua persoalan seni seolah-olah menjadi longgar. Kontestasi meninggi. Aktivitas, entah pameran, pasar, atau percakapan, menjadi padat. Di mana dan bagaimana para pendatang baru bisa dapat tempat? Di mana dan bagaimana para pelukis muda akan memosisikan diri?

Kontestasi dan kompetisi merupakan keniscayaan. Keduanya merupakan sarana untuk menghadirkan diri di tengah riuhnya penciptaan, pemikiran, dan percakapan seni rupa hari ini. Sejumlah jalan tersedia di sekeliling semua orang, termasuk jalan pintas, dengan sejumlah resiko dan konsekuensi masing-masing. Ujung dari pilihan adalah bertumpu pada ketrampilan mempertukarkan modal disertai dengan kecakapan sosial setiap individu.

Di tengah silang sengkarut semacam itulah, Anwar Musadat hadir. Secara kebetulan ia bertemu (dipertemukan oleh Nasirun) dengan Agung Tobing, yang selama ini mendukung (dan mengorbitkan) sejumlah seniman/perupa. Pertemuan itu bermakna ganda; yang pertama adalah ia mendapatkan ruang dan kesempatan yang leluasa untuk melukis. Mimpi lama menjadi pelukis terwujud. Perasaan ‘kehadiran’ (eksistensi) di tengah khalayak pelan-pelan tumbuh. Yang kedua adalah tantangan untuk mewujudkan kepercayaan sang promotor bahwa ia memang pantas dipertarungkan di arena seni lukis hari ini. Dengan kata lain, Anwar mesti memahami peta seni rupa agar bisa berhitung (baca: mengukur diri) dengan apa dan bagaimana ia akan melakukan pertarungan. Kedua makna itu menjadi pekerjaan rumah tak mudah bagi Anwar. Namun demikian dalam pandangan saya, ia memiliki cukup modal, bahwa aspek-aspek elementer dalam melukis sudah dikuasai. Langkah berikutnya adalah memupuk hasrat mengisi aspek-aspek elementer tersebut dengan ide-ide penting. Hasrat semacam itu penting agar karya-karya lukisan Anwar tidak berhenti pada persoalan kepandaian tata rupa, tetapi juga kecerdasan gagasan.

Lukisan-lukisan Anwar Musadat seperti sudah saya sebutkan pada bagian sebelumnya, mengingatkan pada karya-karya Heri Dono dengan figur-figurnya yang ganjil, warna-warna cerah pada lukisan Eddie Hara, dan sejenisnya. Namun demikian lukisan-lukisannya juga memberikan kegembiraan, juga memantik imajinasi penontonnya. Kegembiraan dan imajinasi merupakan “kenikmatan dan ruang bebas” setiap individu, yang akhir-akhir ini terlindas oleh suara-suara bohong dan kebencian yang tular-menular disertai hancurnya akal sehat. Seni atau khususnya seni rupa semestinya memiliki peran mengembalikan kegembiraan dan imajinasi tersebut, tanpa kehilangan sikap kritis dan empati.

Itulah persoalan seni rupa kita hari ini, bahwa seni rupa, tentu saja termasuk lukisan, kini berada dalam situasi percakapan yang ‘melampaui rupa’. Bagaimana bisa disebut seni, mengapa masih membuat lukisan, bagaimana menjadi bentuk-bentuk tertentu, yang dikomposisi dan dikonstruksi menjadi susunan tertentu, mengapa kanvas, mengapa kertas, dan seterusnya, merupakan percakapan yang sama pentingnya dengan ‘kualitas seni’ itu sendiri. Karena itu, bagi saya, riwayat kehidupan Anwar Musadat dengan pendidikan pesantren, dengan segenap liku-likunya, pertemuannya dengan beragam seniman/perupa yang menginspirasi dirinya, pertemuannya dengan promotor, pengalamannya melihat dan mendengar perihal seni lainnya, dan ketrampilannya mengolah material cat di atas kanvas atau kertas, serta gairah (passion)nya yang menggelora, merupakan modal utama menjalani pertarungan di arena terbuka ini. Kita tahu, sebuah pertarungan di samping bermodalkan kecanggihan karya seni yang diproduksinya, juga memerlukan karakter dan mental kesenimanan yang teguh serta tangguh.

Yogyakarta, Desember 2016 – Januari 2017

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *