SOLO MENONTON KANTATA TAKWA

Poster Kantata Takwa

Solo Menonton Kantata Takwa

Merupakan inisiasi dari kelompok pemutaran film-film alternatif  di Solo yang bernama Kisi Kelir bekerjasama dengan Medang Kamulan Creative yang beranggotakan Zen Al-Ansory sebagai inisiator, Agustha Kurniawan sebagai Ketua, Dea, Nopsi, Devita sebagai tim promo dan publikasi.

Dengan programnya yang telah berjalan 2 bulan ini, Kisi Kelir memanfaatkan momentum hari Film Nasional yang jatuh pada tangal 30 Maret. Melalui Kisi Kelir, Kota Solo turut meramaikan dan merayakan momentum ini.
Tahun ini Kisi Kelir menyelenggarakan pemutaran film arahan sutradara Eros Djarot & Gotot Prakosa dengan judul Kantata Takwa yaitu sebuah film dokumenter musikal yang berdurasi 72 menit.

Serentak pada Hari Rabu, 30 Maret 2016 pukul 19.30 WIB.

Dengan memilih 9 titik ruang berkesenian di antaranya adalah:
•    Camp Brown Cinema Corner sebuah kafe yang mempunyai konsep micro cinema yang memutarkan film-film alternatif setiap dua minggu sekali.
Lokasi: Di jalan Honggowongso 117 B Serengan bersebelahan dengan Toko Sepatu Bakti Solo.
•    Cangwit Creative Space ruang kreatif yang mempunyai platform pemanfaatan ruang public sebagai market, ruang kreatif untuk berbagai latar belakang komunitas untuk aplikasi industri kreatif.
Lokasi: Lantai 2 Pasar Pucang Sawit Solo.
•    Ruang Seni Daya Joeang sebuah galeri seni rupa yang diinisiasi oleh Garis Cakrawala Indonesia Visual Art Company, yang sarat dengan nilai historis, ruang pergerakan inisisasi anak muda perupa di Solo yang baru-baru ini telah dibuka.
Lokasi :Di pusat kota Solo di area bekas markas militer Jalan Mayor Sunaryo No.4, Eks Brigif 6/2 Samping komplek Beteng Trade Center Solo.
•    PAKEM Co-Working Space area lantai-2 Pasar Kembang Solo yang beralih fungsi menjadi tempat bertemunya para stake holder pelaku seni, pebisnis, pegiat industri kreatif maupun investor yang berbeda latar belakang untuk menggagas sesuatu.
Lokasi : Lantai-2 Pasar Kembang Solo
•    Ruang Atas Art Space sebuah ruang kreativitas yang digunakan untuk fungsi mini art space, artshop, ruang residensi dan workshop untuk seniman-seniman muda yang memiliki latar belakang seni rupa.
Lokasi : Debegan RT 03 RW 06 Mojosongo Solo
•    Sodoc ISI Surakarta, sebuah komunitas di bawah lembaga Institut Seni Indonesia yang mempunyai fokus untuk apresiasi film-film dokumenter.
Lokasi : Gedung Pasca Sarjana ISI Surakarta.
•    Biru Studio, studio musik yang telah berdiri sejak lama di kota Solo yang mempunyai pengaruh terhadap iklim musik independen di Solo.
Lokasi: Jln. Cokrobaskoro No.50 Tipes Serengan Solo.
•    Lantai-2 Kusumasari Kemlayan Solo, ruang berkesenian yang digagas oleh Sardono W Kusumo dan Hanindawan untuk mewadahi seniman-seniman dari berbagai latar belakang keilmuan untuk melakukan aktivitas berkesenian.
Lokasi: Lantai 2 Rumah Makan Kusuma Sari Solo.
•    Sekretariat Solo International Performing Arts. Sanggar kesenian yang fokus terhadap cabang kesenian tari dan performing arts.
Lokasi : Jalan Kedasih No. 22 Kerten Solo.

Alasan memilih lokasi-lokasi tersebut karena ada gerakan tumbuhnya ruang-ruang alternatif untuk berkesenian dari semangat kebersamaan generasi muda dan tua yang menumbuhkan kesadaran akan pentingnya ruang apresiasi dari berbagai latar belakang.

Kenapa Film Kantata Takwa?
Film ini dipilih karena mempunyai konten dan isi cerita yang dapat memberikan spirit dan semangat dalam kebebasan berkarya tanpa adanya batasan oleh apapun.
Film Kantata Takwa bagi kami pribadi merupakan salah satu film Indonesia yang lahir penuh perjuangan di masanya. Dari dipersulitnya ruang gerak seniman  oleh pemerintahan untuk berkarya pada era masa orde baru melalui penggambaran gerak teater dan puisi serta konser musik Kantata Takwa oleh para seniman-seniman pendulu kita seperti WS Rendra, Iwan Fals, Sawung Djabo, Setiawan Djodi, Jockie Surjoprajogo.
Dalam pembuatan film ini juga mengalami kesulitan karena sejak dimulai dari Agustus 1990, dan baru bisa dirilis September 2008. Hal ini menggambarkan betapa represifnya masa pemerintahan orde baru pada waktu itu.
Film yang dibuka dengan adegan WS Rendra yang tertidur dan melalui narasi puisi yang dibacakan oleh WS Rendra lalu oleh public puisi ini dikenal dengan judul “Kesaksian”
Sebuah lagu pembuka yang mencuri perhatian apalagi untuk penggemar Iwan Fals yang pasti bisa manjadi sebuah tontonan yang sarat akan kenangan dan kebahagiaan tersendiri bagi siapapun yang mengalami masa itu.
Sebuah kalimat, “…orang-orang harus dibangunkan” seperti mengaktualisasi pada perkembangan jaman dan permasalahan social, agama, politik dan budaya serta tentunya isu-isu permasalahan yang sedang terjadi saat ini di Indonesia.

Gerakan Budaya sebesar dan sepopuler ketika era Kantata Takwa ada sudah tidak lagi kita temui di era pemerintahan sekarang, gerakan budaya yang tak hanya akan masuk pada kalangan seniman, budayawan dan apapun latar belakangnya. Akan tetapi lewat tontonan film Kantata Takwa pada momentum Hari Film Nasional tahun ini di Kota Solo bisa membawa sebuah gerakan untuk siapapun yang menontonnya untuk beraktivitas, berkarya sesuai dengan tata keilmuan yang mereka geluti.

Sinopsis Film
Film ini adalah sebuah puisi kesaksian dari para seniman Indonesia tentang masa represif rezim Orde Baru Soeharto. Sebuah masa yang banyak diwarnai dengan korupsi, kolusi, nepotisme, dan banyaknya penangkapan, penculikan, bahkan pembunuhan para aktivis yang tidak memiliki ideologi yang sama dengan pemerintah penguasa saat itu. Termasuk dalam orang-orang tadi adalah W.S. Rendra, seorang penyair yang harus keluar-masuk penjara karena karya-karyanya dianggap menyindir dan mengkritisi pemerintah. Seniman dan penyanyi Iwan Fals, Sawung Jabo, Jockie Surjoprajogo, dan Setiawan Djodi yang sering menyuarakan keadaan sosial masyarakat Indonesia pada saat itu juga harus berhadapan dengan kemungkinan pencekalan oleh pemerintah penguasa. Suara kesaksian para seniman tersebut ditumpahkan dalam konser akbar mereka, sebuah pertunjukan seni “Kantata Takwa”.

Informasi Film
Kantata Takwa ( The Movie )

Kantata Takwa merupakan film dokumenter musikal Indonesia yang dirilis pada tahun 2008 arahan sutradara Eros Djarot dan Gotot Prakosa yang dibuat berdasarkan konser akbar proyek seni Kantata Takwa di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, tahun 1991. Film ini mengalami banyak kesulitan dalam pembuatannya karena sarat dengan tema sosial politik dan kritikannya yang sangat tajam pada sistem pemerintahan Orde Baru Indonesia yang represif saat itu, sehingga pembuatannya memakan waktu 18 tahun hingga dirilis.  Film ini diputar secara premier di Indonesia mulai tanggal 26 September 2008 di Jakarta di jaringan bioskop Indonesia Blitzmegaplex dan kemudian dalam berbagai festival film internasional.

Pembuatan film ini dimulai dari Agustus 1990, dan baru dirilis September 2008 akibat mengalami banyak kesulitan. Film ini dibuat berdasarkan konser akbar proyek musik Kantata Takwa di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta pada era Orde Baru tahun 1991, didukung oleh seniman kondang Indonesia W.S. Rendra dan musisi-musisi kawakan dari grup musik “Kantata”, yaitu Iwan Fals, Sawung Jabo, Jockie Surjoprajogo, dan Setiawan Djodi. Konser “Kantata Takwa” yang ditampilkan dalam film ini adalah yang diadakan pada bulan April 1991, yang kemudian dilarang tampil setelah penampilan selanjutnya di Surabaya. Konser ini adalah simbol perlawanan dan oposisi terhadap pemerintah penguasa saat itu, disuarakan dengan lantang dalam konser tersebut melalui syair dan lagu yang sarat dengan nuansa teatrikal.
Saat awal proses pembuatannya, film ini didukung oleh banyak sineas Indonesia, dimana banyak yang diantaranya tergabung dalam Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Banyak yang diantaranya telah meninggal sebelum film ini diselesaikan dan dirilis. Film yang pada awalnya di-shoot dengan kamera 35mm ini tidak dapat dirilis pada era pemerintahan Orde Baru. Setelah diselesaikan dan dirilis tahun 2008, perbedaan dengan versi awalnya hanya dalam format digital mediumnya saja. Rol filmnya harus disimpan selama kurang lebih 18 tahun akibat berbagai kesulitan dalam pembuatannya, termasuk karena Krisis finansial Asia 1997 yang merambat ke gonjang ganjingnya politik di Indonesia dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998. Setelah datangnya era reformasi di Indonesia, film ini akhirnya dapat dilepaskan dari belenggu represif, walaupun para kritikus film Indonesia sangat menyayangkan keterlambatan film ini. Walau umumnya mendapat sambutan positif, film ini mendapat kritik yang bercampur antara masih relevan atau tidaknya dengan kehidupan dan situasi Indonesia setelah era reformasi. (sumber: kantatatakwa.wordpress.com)

Cp:
Zen Al-Ansory
082225847790/08886745602
zenal.ansory@gmail.com

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *