DARI ISU LINGKUNGAN SAMPAI RITUAL FORMAT MUSIK NOIS BETORO LENDIR, MELAHIRKAN “KARYA MATURNUWUN BUMI” DISAJIKAN SECARA KOLABORATIF BERSAMA BAIU PROGRESS DAN FAHMI LAZARUS
BETORO LENDIR adalah sebuah format musik yang di gagas oleh orang – orang berlatar belakang Seni Rupa , yang mencoba berbahasa lewat bunyi – buyian yang mereka perkenalkan dengan nama Musik Noise. Merupakan genre musik yang dicirikan oleh penggunaan bunyi yang ekspresif dalam konteks musik. Jenis musik ini cenderung menentang perbedaan yang dibuat dalam praktik musik , konvensional antara suara musik dan non-konvensional. Musik noise mencakup berbagai gaya musik dan praktek kreatif berbasis suara yang menampilkan kebisingan sebagai aspek utama. Beberapa musik menampilkan suara yang dihasilkan secara manual atau elektronik, dan alat musik tradisional dan non-konvensional atau eksperimental. Eksplorasi bunyi dan kebisingan bisa menggunakan perakitan media modular, kebisingan yang dihasilkan oleh computer, dan beberapa alat dibuat berbeda dengan musik konvensional seperti biasa yang dimunculkan secara distortion, feedback, static, desis dan dengungan. Bisa jadi penekanan pada tingkat volume tinggi dan potongan panjang yang berkesinambungan. Secara umum, musik bising mengandung aspek-aspek seperti improvisasi, pemerluasan teknik, dan ketidaktentuan. Dalam banyak pertunjukkan penggunaan melodi, harmoni, ritme, irama secara konvensional dihilangkan. Seperti konsepsi seperti yang sudah disebutkan diatas, Bethoro Lendir dengan 4 personil yang meliputi Candra Wangwang, Rio Cah Ndeso, Krismon Goks, dan Lamijan Jos ini hadir menjaga keseimbangan semesta raya yang sedang mengalami banyak krisis disegala aspek.
Dan dalam konteks ini Betoro Lendir hadir dalam Karya “Matur Nuwun Bhumi” disajikan secara kolaborasi dengan Baiu Progress dan Fahmi Lazarus. Karya tersebut karya yang memiliki sisi religius hingga menjelma nyanyian ritual guna pengungkapan rasa terima kasih kepada ibu bumi yang senantiasa memberikan ruang & daya hidup, ungkapan rasa syukur serta berusaha semakin gemati dengan bumi. Menjelma ritus untuk menyatukan rasa manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Tuhan.
Karya “Matur Nuwun Bhumi” hasil dari pergulatan pikir dari rekan-rekan yang terlibat. Pembacaan tentang isu lingkungan menjadi dasar proses terlahirnya karya ini. Bencana alam yang terjadi akhir ini adalah tanda dari bhumi yang kerap kita eksploitasi habis-habisan. Kerakusan yang kita lakukan membuat bhumi merasa sakit. Tanpa berpikir soal kelangsungan hidup bhumi dan keselamatan masyarakat kita mengeruk tanah dengan rakus, menebang hutan secara brutal, membuang sampah sembarangan hingga mengakibatkan banjir, dan sebagainya. Sudah semestinya kita menyatukan rasa kepada sesama, merangkul sesama, merawat alam agar lestari, dan bersyukur kepada Tuhan yang memberi segala.
“Bhumi wus ngewanti, luwiha gemati”