Yang Fana Adalah Waktu, Tarungmu Abadi
Barangkali ada di antara Saudara yang bertanya-tanya, sibuk apa gerangan Haikal Azizi jika tidak sedang merangsek di gerombolan Sigmun atau mencuit lucu-lucu filosofis di linimasa, mungkin ini bisa membantu: topeng baru bernama Bin Idris. Tentu tak sepenuhnya baru, karena beberapa tahun lalu nama panggung itu—sebuah penghormatan kepada sang ayah—pernah dipakainya di sebuah rilisan kaset terbatas berjudul Muqadimmah. Bisa jadi saya adalah pembeli pertama kaset merah yang konon hanya dirilis 33 copies itu, dalam bungkusan tak lazim dari senar gitar yang disegel stempel lilin, oleh label rekaman milik seorang seniman bernama Duto Hardono. Saya membawa pulang kaset itu dari satu pertemuan COD yang terburu-buru, hanya beberapa hari sebelum Duto berangkat untuk residensi seni ke sebuah negeri berperadaban tua di Afrika. Sebagaimana judulnya, yang berarti pembukaan, Saudara patut curiga bahwa itu hanya sebuah awal. Album self-titled yang Saudara pegang saat ini mungkin adalah kelanjutannya. Mungkin juga tidak.
Manusia terlahir bebas, namun sesungguhnya di mana-mana ia terbelenggu. Itu bukan kata-kata saya, saya hanya meminjamnya dari seorang pemikir. Manusia dilahirkan di tengah-tengah labirin dengan seribu kelokan yang dibikin dengan satu tujuan, yakni untuk menyesatkannya. Matematika, juga filsafat, hanyalah satu-dua dari sederet upaya manusia membongkar misteri itu. Pythagoras mungkin tak pernah membayangkan bahwa duaribu tahun setelah sumbangsih matematisnya pada variasi panjang pendeknya dawai dan dampaknya pada bebunyian, otak-atik itu dilipatganda nilai keasyikannya dalam bentuk paling liar sekaligus ringkas, ditenteng ke studio, dimainkan di panggung, atau sekadar dipetik di tepi ranjang sebelum dan sehabis tidur. Orang-orang merekam kegelisahan purba mereka dengan smartphone, mengunggahnya di soundcloud. Saudara boleh turut serta, berbagi risau pada sesama resah. Topeng-topeng baru bolehlah dipasang, beban terangkat dan belenggu terhempas, tapi selapis wajah lain yang bisa jadi adalah sosok paling aslinya, meski bisa jadi juga bukan, malah terkuak. Pergulatan musik, dalam album ini disederhanakan lagi oleh Bin Idris menjadi hanya gitar, keyboard, dan MIDI controllers yang seluruhnya ia mainkan sendiri dari kamarnya di sebuah lembah di Bandung Utara, tetap saja tak lebih dari butiran debu di tengah keagungan kosmik yang berkomplot dan memasang perangkap sama bagi semua orang, bahkan termasuk Bin Idris sendiri: sebuah kekusutan teramat luas berupa tikungan-tikungan yang keliru.
Apakah seumur hidupnya manusia harus terus-terusan bertarung, bertukar tangkap dengan lepas, untuk sekadar mencari tahu dirinya tersesat atau tidak? Untuk sebuah album yang dibuka dengan sebaris lirik mirip taawudz—doa memohon perlindungan kepada Sang Serba Maha dari godaan setan yang terkutuk—pengembaraan batin Bin Idris saya curigai sebagai sebuah trik berkelit dari keruwetan isi kepala, dengan taktik gencatan senjata yang brilian: mengambil jeda aman sembari menyusun strategi berikutnya. Ada yang berkecamuk hebat di benaknya saat menulis lirik “Aku berlindung dari gusar gelisah/ aku bernaung dari bara amarah..” untuk sebuah lagu pembuka yang indah sekaligus bermuram durja. Kerisauan di lagu pertama itu tak pernah benar-benar hilang hingga akhir CD, memantul-mantul di sepanjang durasi. Keremangan hatinya seolah dirayapi gitar blues yang sedikit dilambatkan temponya, ditimpali bunyi keyboard sedemikian rupa, dengan vokal yang sesekali ditarik mundur ke belakang sehingga terdengar seperti doa biksu dari kejauhan. Anehnya, dengan trik seperti itu gaungnya malah lebih terasa, ini mirip cara kerja pesulap, kita disodori terlampau sedikit untuk mendapat sensasi lebih besar.
Mungkin sama seperti yang nanti bakal Saudara alami dalam beberapa menit ke depan saat memutarnya, saya pun kesulitan mengurai benang merah di album ini. Hubungan satu lagu dengan lagu lainnya tidaklah terlalu benderang. Saya malah membayangkan Haikal Azizi, kali ini dengan topeng Bin Idris di wajah, sedang berupaya menggeledah hasratnya sendiri, menantang setan-setan di dalam dirinya untuk keluar lalu mengajaknya duel satu lawan satu. Sekali dua ia berhasil, sisanya ia kepayahan dan itu manusiawi. Bahkan kekalahan demi kekalahan itu tak kalah puitis dengan sesekali keberuntungannya. Saudara boleh tak sepakat, tapi perkara ringkus-meringkus hawa nafsu—entah itu amarah, rasa tamak, kekerasan, dsb., dst.—adalah memang permainan tertua dalam peradaban manusia sejak Adam memakan apel yang membuatnya terlempar dari Surga, sebuah tarik-ulur dendam yang takkan pernah tuntas hingga akhir zaman. Diplomasi tiada henti ini tergambar sempurna di nomor kedua, “..di antara sejuk hembus di sampingmu/ angan-angan tersembunyi di bawah sadarmu..”
Angan-angan tersembunyi ini bisa jadi sangat gelap. Ketika sebuah kasus kekerasan terjadi di sebuah negeri, dan tak ada hal signifikan yang bisa ia lakukan, Bin Idris memilih memetik gitarnya lebih kencang, dan kegusaran hatinya saat mendengar tulang belulang rakyat jelata dihajar besi-besi penguasa sesungguhnya adalah belasungkawa yang lahir dari rasa tak berdaya. Petikan blues yang keras itu ironisnya tetap terdengar perlahan, dan justru karena liukannya diulang-ulang, rasa geram yang tertahan jadi lebih menusuk, dan pada takaran tertentu itu sudah lebih dari cukup. Tentang perihnya kehilangan juga muncul beberapa kali, tentang seorang ibu kehilangan anaknya, tentang pengungsi yang harus berpisah dari keluarganya, tentang maut di hadapan pusara, dengan mantra-mantra “..semua yang engkau cinta kelak ‘kan sirna..” dan betapa ini semua hanya bakal mengendap jadi “..bisikan yang bergema di sudut hening kepala..”
Pertanyaan berikutnya, apakah sebenarnya bisikan yang bergema di sudut hening kepala itu? Kita tahu semenjak adanya nilai-nilai, hasrat selalu dipersalahkan atas segalanya. Hasrat dituduh berada di balik semua ketidakberesan dunia. Teks-teks agama, bentuk paling rancu dari relijiusitas, paling gencar memusuhi (atau malah tak sadar mengakrabi) hasrat karena dianggap menggelincirkan manusia dari kebenaran sejati. Tema relijiusitas menyelinap halus di satu dua nomor, termasuk komposisi instrumental yang magis tentang keagungan malam seribu bulan. Ada pula lagu anti-perang dalam lirik bahasa Inggris yang sumir, perihal betapa naifnya manusia menghadapi kehancuran, dan soal peliknya kaitan perang dan reliji bukankah salah satu pahlawan terbesar Haikal, Bob Dylan, pernah lantang bernyanyi, “If God’s on our side/ He’ll stop the next war?” Di sela-sela membiarkan dirinya terombang-ambing antara yang transendental dan yang bukan, Bin Idris masih sempat-sempatnya bergurau tentang kebrengsekan menyetir di jalanan, semacam berlagak Tom Slepe dengan imaji Iwan Fals di kepalanya: upaya melucu di tengah situasi genting toh juga adalah salah satu cara bertahan. Menyimak seksama sebelas komposisi di album ini dengan mata terpejam, Saudara bisa pula membayangkannya sebagai sisi gelap Chrisye yang tak pernah terkuak, seperti menyanyikan repertoir terkelam Eros Djarot jika misalnya mereka sama-sama kerasukan delta blues tua Robert Johnson. Sejenis maskulinitas yang ringkih, atau justru kerapuhan yang maskulin. Malam seribu topeng. Malam seribu tameng.
Jika Saudara sempat memeriksa video untuk single pertama album ini, “Dalam Wangi”, terlihat di situ bagaimana Bin Idris bersitegang dengan diam. Tak banyak ada pergerakan, ia seperti sedang menunggu sesuatu. Daun berguguran. Ia mengusap muka. Rambutnya necis, baju perlente. Ia membuka kacamata hitamnya, satu dari sekian tameng. Ada gurat cemas di wajahnya, tapi ada juga kewaspadaan yang terukur dan disiapkan. Saudara boleh saja memaknainya sebagai keluh kesah seorang hamba kepada penciptanya, dibekuk pasrah, tapi ingatlah sekali lagi bahwa hidup ini penuh kelokan berliku sementara kita pada dasarnya hanya seorang diri. Pertahanan terbaik adalah menyerang, demikian semua pelatih sepakbola dari negeri Samba, tapi bagi Bin Idris, cara bertahan yang paling efektif adalah dengan menunggu dan meresapi kesendirian.
Pada akhirnya semua upaya menuju keheningan itu, buah dilematis dari kemelut batin dan pikiran yang berisik, mengingatkan pada sebaris puisi Chairil Anwar: “Rontok-gugur segala. Setan bertempik. Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.” Tahukah Saudara, hampir sepuluh windu telah berlalu sejak puisi itu ditulis? Dan rupanya Bin Idris, seperti sebagian besar kita, tak banyak beranjak dari pertarungan klasik ini: dalam sunyi, terus-terusan menantang sepi. Mari kita ucapkan selamat. Dan sampai jumpa, Saudara-saudara, di ronde berikutnya.
Budi Warsito