Jika mata adalah indra penglihatan manusia, maka poster adalah indra komunikasi publikasi.
Publikasi untuk menyajikan sebuah informasi, data, jadwal, penawaran dan sebagainya, yang
tujuannya untuk mempromosikan orang, acara, tempat, produk dan lain sebagainya. Sebuah
poster yang baik adalah tidak saja menarik perhatian publik, tetapi juga mampu
menggambarkan tema besar dari pesan yang hendak disampaikan. Poster sesungguhnya
bentuk tertua, dalam beberapa hal yang “termurni” dari periklanan karena sebuah poster
mempresentasikan sesuatu yang hendak dijual dari periklanan karena sebuah poster
mempresentasikan sesuatu yang hendak dijual dengan menempelkan di tembok (Meyer,
1999: 96). Poster juga dapat diasosiakan sebagai instrumen penting seseorang mengkonsumsi
komoditas sehingga lewat poster sebuah pesan yang dikonstruksi menjadi imej atau
komoditas dibangun. Sederhananya poster adalah seni memvisualkan ide, imajinasi dan
kreatifitas.
Seringkali poster menjadi visualitas dan tekstualitas dalam sebuah identitas, entah identitas
murni dalam pekerjaan menjual (iklan) maupun identitas personal pembuat poster tersebut.
Poster selain sebagai bentuk identitas acapkali lebih terbangun menjadi sebuah pernyataan.
Dengan kata lain poster (diharapkan) lebih menyampaikan gagasan ketimbang sebuah pesan
yang di visualkan. Gagasan dan ide kreatif seorang desainer perancang poster harus lebih jeli
untuk memunculkan identitas yang kadang tersembunyi dibalik bentuk kapital yang jauh lebih
besar. Dalam kehidupan sehari-hari identitas menjadi tanda yang mengarah pada subjek dan
pada saat yang bersamaan, ia juga sedang membuat perbedaan dengan subjek-subjek yang
lain. Boleh jadi, identitas kemudian membuat kita menjadi lebih mudah dikenali orang lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus
seseorang. Jika disimpulkan, identitas adalah ciri-ciri atau kedaan seseorang yang berbeda
dengan orang lain. Setelah kita pahami makna identitas dapat kita pahami merupakan hal
yang mutlak ada dalam kehidupan manusia. Setiap orang memiliki identitas, dan hal itu tidak
bisa disamakan dengan orang lain. Identitas bisa dikatakan sebagai pembeda seseorang
dengan yang lainnya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi seandainya semua orang tidak
memiliki identitas diri masing-masing. Maka yang terjadi adalah, banyak kesalahpahaman
dalam mengenal seseorang, dan semacamnya.
Persoalan ‘identitas’ begitu banyak diperdebatkan dalam teori sosial khususnya. Istilah ‘krisis
identitas’ dilihat sebagai bagian dari proses perubahan yang lebih luas melepaskan struktur
sentral dan proses masyarakat modern dan meruntuhkan kerangka yang telah dibangun oleh
dunia sosial. Tidak berlebihan rasanya kalau dikatakan bahwa setiap pembaruan sosial yang
terjadi dalam masyarakat biasanya dimulai oleh kaum muda. Itulah identitas atau ciri asli
mereka. Reformasi penggulingan rezim orde baru era Soeharto pada tahun 1998 adalah buah
dari identitas kaum muda yang selalu gelisah tatkala berhadapan dengan ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan zamannya. Bahkan Sri Sultan Hamengkubuwono X mengatakan,
“Abad 20, dalam perspektif bangsa kita, sesungguhnya adalah sejarah anak-anak muda.”
Namun sekarang ini ada tantangan yang jauh lebih mengerikan yang sedang mengancam
eksistensi generasi muda yang secara tidak langsung juga mengancam kelangsungan masa
depan bangsa kita. Tantangan itu bernama tantangan identitas. Pragmatisme, konsumerisme,
hedonisme dan materialisme saat ini, harus diakui membuat kaum muda makin jauh dan
makin tidak tertarik dengan persoalan-persoalan kebangsaan atau kemasyarakatan. Dimulai
maraknya tawuran pelajar hingga maraknya kekerasan yang mengatasnakamakan geng motor
akhir-akhir ini. Tidak perlu heran, sebab semua ini berujung pada individualisme dan
pemuasan hasrat diri. Pada akhirnya identitas kaum muda yang kritis, solutif, energik,
imajinatif, peka terhadap problem sosial, modal dasar sebagai the agent of change di masa
depan tergerus dan luntur, dan diganti dengan sebuah identitas baru. Identitas baru tersebut
terletak pada gadget yang ia gunakan, mode busana yang ia kenakan, tipe kendaraan yang ia
tumpangi dan gelar kesarjanaan yang ia miliki. Bukannya kritis dengan zaman, kaum muda
justru makin serupa dengan zaman.
Lewat pameran poster DIBALIK IDENTITAS ini karya-karya yang dihadirkan bahwasannya tidak
berusaha mencari identitas baru, tapi justru menghadirkan bentuk identitas yang tersembunyi
dibalik identitas-identitas yang telah ada. Pameran ini berusaha merespon kegelisahan
mahasiswa Modern School of Design Yogyakarta terhadap nilai-nilai identitas sosial di
masyarakat yang mulai bergeser. Karena desainer grafis selain sebagai perancang poster
diharapkan juga mampu menjadi penanda identitas bahkan membangun sebuah eksistensi
budaya dengan seperangkat pengetahuan dan keahlian (desain).
Bila selama ini poster hanya menampilkan selembar kertas yang menempel di tembok dan
ruang publik, atau bahkan kini poster bermutasi menjadi bentuk digital yang terpampang di
layar-layar digital lewat dunia maya, maka lewat pameran ini poster “memunculkan”
gagasannya dengan bentuk tiga dimensional (memiliki volume dan menempati ruang). Hal ini
merupakan salah satu upaya untuk menghadirkan dimensi visual dan tekstual untuk
mengkomunikasikan gagasan yang selama ini bersembunyi “dibalik identitas”
Arsita Pinandita S. Sn
penanggung jawab pameran “dibalik identitas”