Duduk Bersama 6, Meretas Batas di Era Live Streaming
Selama 5 kali perhelatannya, Duduk Bersama telah membuktikan kiprahnya dalam menyuguhkan gelaran kekinian nan artsy. Pencapaian ini agaknya bisa dilihat dari membanjirnya jumlah audience yang hadir, serta bagaimana pergerakan warganet yang turut berperan memviralkan poster melalui media daring. Banyak yang mengamini, gelaran semacam ini bisa menjadi ruang alternatif untuk bertemu, berdialog, dan saling tukar wacana. Para penikmat Duduk Bersama nyatanya hadir bukan hanya untuk menonton performer yang mereka sukai, melainkan juga untuk menikmati suasana yang akrab dan intim.
4 tahun sudah, terhitung dari awal debutnya di tahun 2015, Duduk Bersama sengaja merancang gelaran dengan pola khusus dari kafe ke kafe; menghadirkan panggung yang lebih cair, dan pada praktiknya pun menjadi lebih intim, dekat, seolah tak ada batas antara performance dan apresiator. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa gelaran Duduk Bersama akan terus melakukan eksplorasi dalam hal konten, distribusi isu, format panggung, hingga pemilihan venue yang kini pure memilih stage sebagai arena bermain para performer.
Gelaran Duduk Bersama 6 tetap setia mengusung format yang sama, dengan memadukan dua narasi musik dan puisi, ditambah juga dengan beberapa kejutan dan improvisasi yang biasanya muncul secara spontan dari para performer. Yang tak kalah menarik, yaitu adanya fakta bahwa event ini pun tak bisa diperkirakan kapan waktunya. Berkaca dari linimasa, gelaran Duduk Bersama selalu memiliki pola yang unik terkait dengan waktu penyelenggaraannya. Ada momen ketika harus menggelar acara sebulan sekali, tiga bulan, enam bulan, hingga yang terakhir kemarin, hampir satu tahun lamanya. Artinya, event ini memang sengaja dihadirkan atas dasar kemauan—semau gue—terlepas dari maksud lain terkait faktor-faktor yang terjadi di balik layar. Ketika rindu menggebu, ada baiknya kita bertemu, duduk bersama, dan menyelaraskan pikiran.
Pada momentum ini, Huhum Art Organizer selaku pengelola acara berkesempatan menggandeng All You Can Art, sebuah platform kreatif yang dominan di kerja event. Terkait lokasi, Duduk Bersama 6 akan mengambil tempat di Auditorium IFI-LIP Yogyakarta, Jl. Sagan, No. 3, Terban, Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Yang akan diselenggarakan pada hari Rabu, 13 Maret 2019.
Berbekal cita, rasa, dan semangat yang sama, Duduk Bersama akan menyuguhkan ruang apresiasi karya, dengan mengambil puisi sebagai tema utama. Meski tak ayal nantinya akan ada jarak antara performer dan audience—mengingat stage dipilih—diharapkan ruang ini akan tetap menjadi jembatan untuk memunculkan dialog-dialog lintas generasi dan lintas disiplin; baik itu secara langsung maupun dari performance yang mewujud sebagai medium dialog itu sendiri. Nantinya, para pengunjung bisa melihat performa aduhai dari beberapa line up pengisi acara, yang tentunya, masih dengan format yang sama akan dibagi menjadi tiga sesi, yaitu pembacaan puisi, orasi, dan penampilan musik.
Tak tanggung-tanggung, pada gelaran yang keenam ini, Duduk Bersama akan mendatangkan Nasirun, salah seorang perupa yang tak asing lagi di telinga. Pada 2018, Nasirun bersama para seniman dan budayawan ia hadir di Istana Merdeka atas undangan Presiden Joko Widodo untuk melangsungkan dialog Kebudayaan hingga berkolaborasi menggambar bersama kepala negara. Nasirun adalah sedikit dari perupa yang menjalin keakraban dengan banyak seniman lintas disiplin, terutama para sastrawan. Ia mengenal baik dan kerap kali terlibat dengan para sastrawan seperti: Jeihan, Danarto, Putu Wijaya, Gus Mus, Ahmad Tohari, Sindhunata, Zawawi Imron, Afrizal Malna, Radhar Panca Dahana, Faisal Kamandobat, dll., hingga tak jarang membuahkan kolaborasi. Nasirun juga dikenal sebagai seorang performance yang mumpuni, ia tertarik berolah kreasi dengan tembang, kidung-kidung, dan nyanyian mistik. Pun, nantinya dalam gelaran Duduk Bersama 6 ini, Nasirun akan didapuk sebagai performer puisi.
Pengisi acara selanjutnya adalah Egha Latoya. Wanita multitalenta yang juga dikenal sebagai selebgram ini akan membacakan puisi dalam gelaran Duduk Bersama 6. Fyi, Paramashinta Iga Latoya, atau akrab dipanggil Egha ini pernah tergabung dalam Republik Cinta Management bentukan Ahmad Dhani. Sosoknya pertama kali muncul di dunia pertelevisian ketika ia menjadi finalis Putri Citra Indonesia 2009, dan ia pun pernah menjadi finalis Miss Celebrity Indonesia 2011.
Di lini bebunyian, akan bergabung pula unit musik Dendang Kampungan yang hingga kini tetap konsisten menepaki jalurnya; lantang menyuarakan kritik-kritik sosial untuk mewakili rakyat tertindas. Dendang Kampungan yang lahir dan tergabung dalam kolektif seni Taring Padi ini nantinya akan menampilkan lagu-lagu nan bernas, khas, dan sarat makna.
Di barisan berikutnya, ada Gabriela Fernandez yang dari namanya saja sudah terdengar sangat global. Kariernya pun terbukti gemilang dan berimbang dengan paras cantiknya. Dara asal Jogja ini telah menelurkan pelbagai prestasi dan penghargaan, salah satunya menjadi pemenang ajang Go Ahead Challenge 2018 atas karyanya yang bertajuk Sailing, Home (Musik X Visual Art). Belum lama Gabriela Fernandez mendapat kesempatan lawatan seni di Inggris atas sponsor Go A Head People.
Musik nan gurih dan easy listening juga akan dipersembahkan oleh Kopibasi. Lirik-lirik yang diciptakan oleh unit ini pun termasuk unik. Mungkin karena grup musik ini terbentuk dari seringnya mereka memusikalisasikan puisi bersama-sama. Pun, pemilihan diksi yang ringan dan menggelitik juga menjadi nilai plus dari band bergenre folk akustik ini.
Selain itu, salah satu kesegaran yang coba ditawarkan Duduk Bersama 6 adalah adanya cerita atau orasi yang akan diproklamirkan oleh Eko Triono. Orasi ini dimaksudkan untuk menjembatani obrolan santai lintas generasi – lintas disiplin yang menjadi spirit utama event Duduk Bersama. Berawal dari event ini, kedepannya diharapkan akan hadir perbincangan yang kelak menghadirkan kolaborasi antar pelaku seni. Mantap, bukan? Eko Triono, sebagai penulis muda yang cukup diperhitungkan, tak bisa lepas dari kelindan arus beken dunia literasi. Karya-karyanya memiliki ciri khas yang paten berupa cerpen dan novel eksperimental. Eko sadar bahwa teks mempunyai ruhnya sendiri. Dan ruh itu yang kelak dipeliharannya untuk menghidupi secara lahir maupun batin.
Dalam perjalanannya, Duduk Bersama kerap kali diamini sebagai ritus pertemuan yang menjelma sebuah wadah untuk saling berbagi karya, kegelisahan, gagasan, dan proses kreatif. Tak ayal gelaran ini banyak bersinggungan dengan beberapa seniman lintas disiplin. Di lini visual publikasi telah hadir sejak awal Hendry Juanda dan Iwe Ramadhan sebagai commision work poster, yang dengan enteng menyulap teks sebagai produk gambar atau lettering art. Selain itu, para audiens nantinya tidak hanya disuguhi performance melainkan juga set panggung yang akan dikemas oleh Wisnu Ajitama yang telah melanglang buana dengan produk environmental art-nya.
Huhum Hambilly selaku promotor acara menyampaikan, “Pada akhirnya, kita mengetahui bahwa kita tidak pernah berangkat dari konsep yang pakem. Apa yang dilakukan dari duduk bersama satu dan seterusnya adalah karena learning by doing. Practice make perfect. Melakukan dulu aja. Atau dalam istilah jawanya: disambi karo mlaku. Hahaha.” Meski begitu, tidak semata-mata Huhum berangkat dari kekosongan wacana. Dia menambahkan, bahwa pergelaran ini secara intuitif diamini sebagai ritus untuk mengajak banyak orang mengalami momen pertemuan. Nuansa intim yang coba dibangun lewat keakraban berpuisi itulah yang menjadi dasar pijakan. Duduk Bersama kemudian menyoroti adanya pesoalan lintas generasi. Masalahnya hanya satu, yaitu adanya ikatan yang renggang. Warisan nilai kerap kali terputus ketika generasi berganti, apalagi semakin zaman siklus estafet generasi semakin pendek, dunia bergerak cepat. Jarang sekali, ada satu momen yang bisa mendistribusikan nilai untuk menjadi ruang dialog antar generasi. Dari gelaran macam inilah kita bisa mendapat informasi mengenai estetika macam apakah yang diamini oleh setiap angkatan. Semua punya nilai presentasi yang unik, yang khas, dan itu yang perlu diketahui.
Mengutip Presiden Mural Samuel indratma: Problem-problem yang sering hadir dikarenakan kita tidak bertemu. Kalau kita bertemu, toh, problem itu cair-cair saja. Yang menjadi masalah tidak akan menjadi masalah. Keintiman momen bertemu itu penting. Dan bertemu yang tidak hanya bertemu adalah yang terpenting. Karena di era teknologi informasi kadang kita bertemu tapi asyik dengan HP sendiri. Tabik! (Dete Jatmiko)