Festival Film Dokumenter 2015
Re-Defining
Istilah dokumenter diserap dari bahasa Inggris documentary yang mempunyai arti a lesson, an admonition, a warning. Jika dimaknai lebih jauh lagi, kata “Documentary” memiliki akar dari bahasa latin “docere” yang dapat diterjemahkan sebagai to teach. Dari jejak asal kata ini, film dokumenter ditempatkan sebagai sebuah jembatan untuk merekam suatu persitiwa yang kemudian digunakan untuk memberikan informasi, pemahaman, dan mengajarkan sesuatu pada orang lain. Dengan kata lain, unsur edukatif tak pelak selalu melekat erat pada film dokumenter. Bagi penonton, unsur edukasional ini membuat film dokumenter kerap dijadikan rujukan dalam memenuhi kebutuhan informasi terhadap isu-isu spesifik. Tidak heran karena film dokumenter sendiri berbasis isu, sehingga kebanyakan penonton merupakan orang-orang yang terkait dengan isu-isu tertentu.
Di Indonesia, film pertama kali masuk saat negri ini masih bernama Hindia Belanda. Ketika itu, tepatnya pada tahun 1900, orang-orang Belanda memutar film-film yang mereka bawa dari Eropa. Hal ini dibuktikan dengan sebuah iklan buatan Nedherlandsche Bioskop Maatscappij dalam buku Sejarah Film karya Misbach Yusa Biran pada 2009. Pada iklan tersebut tampak gambar-gambar idoep dari berbagai hal yang terjadi di Eropa dan Afrika Utara.
Sepuluh tahun berselang semenjak pemutaran perdana, orang-orang Belanda merekam kehidupan sehari-hari, prosesi adat, dan kondisi alam Hindia Belanda dengan kamera yang mereka bawa. Hasilnya berupa film-film mengenai kehidupan di Hindia Belanda yang kemudian ditunjukkan pada orang-orang Eropa. Ketika itu di kawasan Eropa memang tengah berkembang pembuatan film perjalan (travelogue) yang menunjukkan rekaman perjalanan dan kondisi suatu tempat.
Beberapa tahun terakhir, antusiasme masyarakat untuk menonton film dokumenter bisa dibilang semakin meningkat. Hal ini tentu tak lepas dari semakin mudahnya akses terhadap film dokumenter. Keberadaan Festival Film Dokumenter (FFD) yang hadir tiap bulan desember di Yogyakarta ini pun dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk mengakses film dokumenter. Rangkaian acara FFD ke-14 sendiri akan berlangsung di Kompleks Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dan IFI-LIP Yogyakarta. Kompleks TBY akan menjadi venue utama dengan tiga tempat pemutaran yaitu Gedung Societet, Ruang Seminar, dan Amphitheater. Jika pada masa awal perkenalan bangsa ini dengan sinema, film dokumenter banyak dibuat oleh para petualang colonial eropa. Kini, sebagai bangsa yang mandiri, kita telah banyak memiliki generasi tangguh para pembuat film dokumenter. Pada pelaksanaan ke-14 ini, FFD tetap berkonsentrasi pada perkembangan film dokumenter Indonesia dengan mengusung 14 film dalam nominasi program Kompetisi FFD 2015.
Untuk program Kompetisi, tercatat jumlah entry film pada tahun ini terbilang paling banyak selama 14 tahun sejarah festival. Sejumlah total 133 film terdaftar di tahun ini, dengan 11 film dokumenter kategori panjang, 96 film dokumenter kategori pendek, dan 26 film dokumenter kategori pelajar. Dari masa pengiriman bulan Mei yang ditutup pada akhir bulan September, 133 film ini kemudian melewati proses penjurian madya oleh dewan juri FFD. Dari proses penjurian madya, sebanyak 14 film lolos dari ketiga kategori, dengan perincian 3 film dokumenter panjang, 6 film dokumenter pendek, dan 5 film dokumenter pelajar, dari 6 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia(DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Nangroe Aceh Darussalam). Keempatbelas film ini akan melewati tahap penjurian final pada tanggal 7-9 Desember 2015, dengan dewan juri panjang: Debra Zimmerman, JB Kristanto, dan Ronny Agustinus; dewan juri pendek: Chalida Uabumrungjit, Adrian Jonathan, dan Ifa Isfansyah; dewan juri pelajar: BW Purbanegara, Park Hye-mi, St. Kartono. Film terbaik dari masing-masing kategori akan diumumkan pada Malam Penutupan Festival Film Dokumenter 2015, pada Sabtu, 12 Desember 2015, di Gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta.
Tema besar festival yang akan diselenggarakan pada tanggal 7-12 desember 2015 ini adalah Re-Defining. Re-Defining merupakan refleksi kita bersama (penonton, pembuat film, dan segenap insan perfilman) atas perkembangan film dokumenter Indonesia yang kian hari semakin semarak. Tema Re-defining sendiri sekaligus merupakan tema dari salah satu program non-kompetisi yakni program perspektif. Tema ini mewakili bagaimana kini di tengah masyarakat, kita sebagai individu tengah sibuk mempertanyakan perkara identitas yang melilit kita, mulai dari lingkup pribadi yang kita bawa dalam sejarah dan memori, hinggal hal-hal yang terjadi di sekeliling kita yang saling bersinggungan dan secara tidak langsung turut memengaruhi kita dalam rangka mendefinisikan siapa diri kita. Hal tersebut dapat berupa agama, status sosial, gender, dan banyak lagi. Bagi FFD, Re-Defining adalah upaya-upaya untuk mendefiniskan kembali keberadaan kita bersama dalam entitas global, sekaligus dalam semesta kehidupan sehari-hari, bersama keluarga dan komunitas sosial di sekitar kita.
Tahun ini melalui program Non-Kompetisi, FFD menerima submisi dari berbagai belahan dunia. Proses seleksi dan pemrograman kemudian memilih 52 film untuk dipertemukan dengan penonton di Indonesia.
Selain program perspektif, masih banyak program Non-Kompetisi lain yang menghadirkan film-film dari berbagai negara di dunia. Ada pula program Spektrum yang digagas dalam rangka mengapresiasi bentuk-bentuk yang ditawarkan oleh film dokumenter sebagai upaya untuk merealisasikan ide si sutradara. dalam program ini wawasan kita akan bentuk-bentuk sinema sebagai medium dan bahasa akan diperluas melalui film-film terpilih.
Tahun ini FFD juga bekerja sama dengan beberapa institusi dan festival film luar negeri seperti Institut Francais Indonesie (IFI) yang menghadirkan 3 film dokumenter Prancis yang dibungkus dalam program Docu Francais, Thai Film Archive yang akan memutarkan 3 film dokumenter pendek Thailand yang dianggap menawarkan suatu pemahaman soal dokumenter dalam program ThaiDocs – Medium in Between, DMZ Documentary Film Festival – Korea yang bekerja sama dengan FFD untuk memutar film-film dokumenter pelajar dengan tajuk Korean Youth Docs. FFD tahun ini juga bekerja sama dengan sebuah organiasi lintas medium, yakni musik, bernama LARAS –Music Studies. Bentuk kerjasama FFD dengan LARAS terealisasikan dalam program Music et Docs yang akan menelaah pertanyaan-pertanyaan soal eksistensi manusia melalui musik dan sinema. Dinas Kebudayaan Yogyakarta pada tahun ini menyelenggarakan pendaan film dokumenter yang kemudian melahirkan 4 film dokumenter pendek dan akan diputar di FFD dalam program Ingatan Kolektif dan Lokalitas.
Selain pemutaran film, akan ada pula program Seminar dan DiskusiGood Pitch: Create, Connect, and Change. Seminar ini akan diadakan pada hari Selasa, 8 Desember 2015 pada pukul Pukul 09.00 – 12.00 WIB. Program Good pitch akan diadakan di Auditorium IFI/LIP Yogyakarta (Jalan Sagan, Gondokusuman) dengan Elise McCave selaku Deputy Director of BRITDOC sebagai pembicara. Akan ada juga program Masterclass yang khusus ditujukan bagi para filmmaker. Namun demikian, peserta program bertema Docs In Progress yang akan diadakan di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta pada 8 – 11 December 2015 hanya diperuntukkan bagi para pembuat film yang sudah mendaftarkan diri pada 16-25 November 2015 lalu.
Informasi lebih lanjut mengenai Festival Film Dokumenter 2015 dapat diakses di http://ffd.or.id/