Festival Film Dokumenter 15 | 2016
Displacement
Mengalami Film Dokumenter sebagai Realitas Perpindahan
Di tanah kita sendiri, konflik sektarian masih terjadi berlarut-larut. Berbagai kasus perampasan lahan dan penggusuran berlangsung di berbagai pelosok nusantara, baik atas nama penataan kota maupun pengisapan sumber daya alam. Pun di dalam tatanan spasial internasional, globalisasi bergesekan dengan adaptasi dan perlawanan lokal, seperti aksi teror ISIS di beberapa titik di Suriah dan Irak, sehingga warga terpaksa eksodus ke beberapa negara Eropa – yang tidak semuanya rela menampung mereka. Belum juga masalah pengungsian ini kelar, ISIS memperluas rezim terornya. Aksi kekerasan mereka turut singgah ke Paris, Brussel, hingga Jakarta.
Melalui tajuk Displacement yang tahun ini diangkat, Festival Film Dokumenter (FFD) yang telah menginjak tahun ke-15 penyelenggaraannya ini dipilih sebagai buah tanggapan terhadap bermacam persoalan lingkungan dan kemanusiaan yang hadir. Melalui perspektif ini, kami hendak mendedah berbagai proses perpindahan dalam ruang dan waktu hidup kita, dengan tetap kritis terhadap relasi kuasa yang terjalin. Displacement hadir sebagai representasi dari beberapa elemen; sebuah lompatan rekam peristiwa dari waktu ke waktu di mana sejarah dan memori menjadi subtansial untuk dihadirkan kembali (perpindahan waktu), problematika HAM yang muncul dari kebijakan politik lokal hingga globalisasi (perpindahan ruang) yang berimbas pada cerita personal maupun konteks sebuah kota dalam kehidupan sosialnya, serta bagaimana budaya berperan sebagai media control sekaligus media perlawanan terhadap kebijakan dalam sebuah sistem (perpindahan gagasan).
Festival Film Dokumenter (FFD) 15 Displacement akan digelar selama empat hari di minggu kedua bulan Desember, tepatnya 7 – 10 Desember 2016. Dengan keterlibatan 32 negara dari berbagai belahan dunia, Festival Film Dokumenter tahun ini akan memutarkan 71 film pilihan yang akan diputar di 4 tempat berbeda: Gedung Societet Militair Taman Budaya Yogyakarta, Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, IFI-LIP Yogyakarta, dan Kelas Pagi Yogyakarta.
Tahun ini, FFD dibagi ke dalam lima program, yakni: Kompetisi, Pemutaran (Perspektif & Spektrum), Parsial, Edukasi (School Docs & Masterclass), dan Diskusi.
Dari ketiga kategori yang dihadirkan di dalam program Kompetisi; Dokumenter Panjang, Dokumenter Pendek, dan Dokumenter Pelajar — peluang dibuka untuk pertama kalinya bagi film-film dokumenter dari luar Indonesia untuk turut berpartisipasi dalam Program Kompetisi, di kategori Dokumenter Panjang. Dengan total 151 film submisi: 53 film submisi kategori Dokumenter Panjang; 87 film submisi Dokumenter Pendek; dan 11 film submisi Dokumenter Pelajar — Program Kompetisi tahun ini terhitung sebagai tahun dengan jumlah submisi film tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Keberagaman dan kekayaan dari film-film ini pun tidak hanya muncul dari segi demografi peserta, melainkan juga konten dan bentuk, pengangkatan tema-tema sederhana dan dekat dengan keseharian, sampai dengan tema-tema yang mengulik permasalahan-permasalahan aktual, pun berbagai permasalahan yang tidak habis diperdebatkan dan lintas zaman seperti gender dan seksualitas. Melalui proses kurasi internal festival, 22 film finalis dipilih dengan rincian: 7 film finalis Dokumenter Panjang, 9 film finalis Dokumenter Pendek, dan 6 film finalis Dokumenter Pelajar. Film-film tersebut merupakan film-film yang dianggap berhasil menerjemahkan secara kritis permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam film ke penonton.
Juri yang terlibat dalam kompetisi Dokumenter Panjang tahun ini antara lain: John Badalu, Lisabona Rahman, dan Ranjan Palit. Dari Dokumenter Pendek melibatkan 3 juri, yaitu: Eric Sasono, F.X. Harsono, dan Yosep Anggi Noen. Sedangkan, Dokumenter Pelajar dengan juri: St. Kartono, B.W. Purba Negara, dan Thong Kay-Wee.
Selain Program Perspektif sebagai medium elaborasi Displacement lewat film-film yang diputarkan, Program Spektrum juga hadir sebagai program yang dirancang oleh FFD untuk menyajikan keragaman dalam film-film dokumenter di dunia. Tahun ini, secara spesial Spektrum menjadi program yang merayakan kreatifitas para pembuat film dalam mengorganisasi temuan-temuan arsip maupun rekaman-rekaman atas peristiwa yang terjadi dalam proses pembuatan film dokumenter.
Selain Perspektif dan Spektrum, respon atas pendukung program utama festival juga dihadirkan di FFD dalam bentuk Program Parsial. Program yang terbuka bagi lembaga, organisasi, dan rekan untuk berkolaborasi melalui kurasi program yang disepakati bersama – bukan hanya berkenaan dengan film dan arsip dokumenter namun juga lintas medium serta mendukung visi antar satu sama lain ini akan diperinci sehingga menjadi 6 sub-program: Virtual Reality (VR), Asian Doc, Focus Japan, SEA Doc, Docu Française serta Le Mois du Film Documentaire.
Virtual Reality (VR) hadir pertama kali di tahun ini sebagai bentuk kerjasama FFD dan British Council dalam rangkaian program UK | ID 2016. Mengaplikasikan teknologi virtual reality lewat dua film pendek pilihan: In My Shoes: Dancing with Myself (Jane Gauntlett, 2015) dan Notes On Blindness: Into the Darkness (Arnaud Colinart & Amaury La Burthe, 2016) — yang memberikan kesempatan kepada penonton untuk memasuki dunia dua penyandang disabilitas: epilepsi dan kebutaan, serta mengajak kita lebih memiliki empati terhadap isu disabilitas. Notes On Blindness (James Spinney & Peter Middleton, 2015) dalam versi film panjang, akan diputar dalam program Perspektif – mengajak kita untuk mengalami bagaimana perpindahan kehidupan seorang John Hull menghadapi kebutaan yang direkam melalui catatan personalnya.
Asian Doc merupakan program kolaborasi dua festival; Festival Film Dokumenter (FFD) & Jogja NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Sebuah program untuk mengalami Asia melalui berbagai film dokumenter pilihan dari-maupun dengan perspektif Asia. Pemahaman akan Asia yang kami maksudkan tentu tidak terbatas pada definisi harafiahnya sebagai suatu wilayah geografis semata. Lebih dari itu, gagasan mengenai Asia yang kami usung, muncul bahwa tiap negara di Asia memiliki dan membawa suara, situasi, permasalahan, dan estetikanya masing-masing – yang merupakan perwujudan cara berkehidupan Asia dengan segenap elemennya; manusia, masyarakat, budaya, dan situasi politik ekonomi yang beragam – yang tentunya tak bisa diukur dengan parameter yang sama antara satu negara Asia dengan negara Asia lainnya.
Focus Japan sebagai program kerjasama dengan Japan Foundation menjadi fokus kami dalam melihat Jepang, sebagai negara yang memiliki sejarah budaya sinema yang panjang dan cukup mapan, serta memiliki sudut pandang dan cara menanam persepsi yang khas untuk dilihat secara lebih dekat melalui film-film dokumenternya.
SEADoc (Southeast Asian Documentary), seperti namanya, telah menyorot film-film dokumenter Asia Tenggara sejak tahun 2007. Tahun ini fokus yang diambil adalah Singapura, bekerja sama dengan Asian Film Archive, FFD akan menghadirkan 4 film: Snakeskin (Daniel Hui, 2014), The Songs We Sang (Eva Tang, 2016), 1987: Untracing the Conspiracy (Jason Soo, 2015), dan 03-Flats (Lei Yuan Bin, 2014). Singapura di tahun ke-51 kemerdekaannya telah menjadi acuan modernitas bagi negara-negara tetangganya dan mengalami penjajahan dalam bentuk yang lain. SEADoc berusaha untuk membaca perjalanan Singapura secara runut, sampai mengikuti transformasi negara kecil di semenanjung Malaya – yang tidak lepas dari serangkaian konflik etnis, sosial, dan sektarian.
Docu Française dan Le Mois du Film Documentaire merupakan dua program kerjasama antara FFD dan IFI (Institut Français d’Indonésie). Docu Française akan memutarkan 2 film panjang: Le Challat de Tunis (Kaouther Ben Hania, 2013), dan Kamen-Les Pierres (Florence Lazar, 2014), dan 2 film pendek: En déplacement / On the Move (Leandro Muniz Barreto, 2015), dan Waiting for the (T)rain (Simon Panay, 2015). Sedangkan Le Mois du Film Documentaire mengangkat kisah revolusi yang dibalut dalam keempat film panjang – baik secara kultural, sosial, politik, maupun personal. Keempat film dalam Le Mois du Film Documentaire akan diputarkan di IFI-LIP Yogyakarta pada 29 – 30 November 2016 pada pukul 16.00 WIB & 19.00 WIB. C’est eux les chiens (Lasri Hicham, 2015), Je suis le people (Anna Roussillon, 2014), Le Chalat de Tunis (Kaouther Ben Hania, 2013), dan La Faille (Nino Kirtadze, 2007). Beberapa cerita kehidupan; tentang sebuah pilihan, kesenangan, kemarahan, empati dan simpati menjadi kelindan yang terjadi dalam program ini. Kemunculan perspektif tersebut bisa jadi mengubah cara kita bertahan hidup, bahkan melihat kehidupan lainnya. Bahwa kekurangan bisa jadi sebuah kelebihan, dan sebaliknya kelebihan bisa jadi sebuah kekurangan.
Untuk Program Edukasi, ada dua kategori dalam program ini, yaitu SchoolDocs dan Masterclass. Program SchoolDocs dirancang sebagai titik awal dalam peningkatan kemampuan mengapresiasi, di mana di akhir akan menguatkan peran anak muda dan generasi pelajar untuk melek media dalam berhadapan dengan agresi media global dengan menggandeng tiga sekolah, yakni: SMAN 6 Yogyakarta (12 Oktober 2016), SMAN 1 Banguntapan (13 Oktober 2016), dan SMAN 7 Yogyakarta (14 Oktober 2016).
Sedangkan untuk Masterclass yang di edisi ke-10 nya mengangkat tajuk Docs In Progress lewat elaborasi pengembangan cerita, penyuntingan trailer, dan latihan pitching. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang mengerucut pada aspek-aspek spesifik pada teknis penggarapan sebuah film dokumenter seperti: sound pada film maupun teknik sinematografi, Docs In Progress yang telah melalui gelaran di kali keduanya ini akan menitikberatkan pada project development para sineas dokumenter yang tengah berproses pada penggarapan proyeknya. Festival Film Dokumenter – selaku penyelenggara, merasa jika para pembuat film Indonesia membutuhkan lebih banyak keikutsertaan serta akses pada workshop ataupun masterclass guna meningkatkan kapabilitas mereka dalam membuat sebuah film. Sehingga nantinya para sineas yang ikut serta diharapkan mampu menginspirasi khalayak luas lewat karya-karya yang sebelumnya telah di’masak’ terlebih dahulu di dalam kelas-kelas praktisi ahli seperti ini. Docs In Progress nantinya tak sekadar mendukung pengetahuan serta perkembangan dokumenter, namun juga turut membaca kebutuhan informasi sekaligus mengkritisi proses penciptaan masing-masing karya dokumenter yang pernah dibuat. Masterclass Docs In Progress akan menghadirkan Malinda Wink (Director: Good Pitch Australia), John Appel (Director, Belanda), dan Ranjan Palit (Cinematographer, India) pada 6-9 Desember 2016 di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta.
Sedangkan Program Diskusi yang mengambil tempat di Ruang Seminar, Taman Budaya Yogyakarta akan mengambil waktu pada 8, 9, 10 Desember pukul 14.30 WIB. Nantinya akan ada tiga bahasan yang diangkat sebagai materi diskusi, yakni: Merasakan Film Etnografi Indrawi, Yang Tidak Dibicarakan Saat Bicara Tentang Anak Perempuan, dan Displacement dan Siasat. Di tiap tajuk diskusinya, FFD juga bekerja sama dengan beberapa kritikus film, dan perwakilan dari lembaga multi-disiplin untuk sama-sama membahas fenomena yang sedang terjadi dan kaitannya dengan narasi yang disampaikan di film-film yang diputarkan di hari H festival.
Lewat berbagai Program yang terangkum selama hari H pelaksanaan festival, FFD masih percaya pada potensi film dengan fungsinya sebagai kontribusi bagi kemanusiaan melalui aksi-aksi pemirsanya setelah menonton. Pasalnya, film—terlebih lagi dokumenter — tidaklah sebatas imitasi alam dan peristiwa dunia. Film memungkinkan kita untuk berimajinasi secara mendetail — memberi bentuk terhadap sesuatu yang belum berwujud dalam realita atau alam pikir kita. Tidak terkecuali untuk membayangkan perubahan—baik itu perubahan dalam lingkup personal maupun sosial. Semoga Displacement yang FFD tawarkan dapat menjadi otokritik dan refleksi, untuk mengukur sejauh mana perjalanan kita sebagai manusia.
INFORMASI LEBIH LANJUT:
Website: ffd.or.id
Facebook: Festival Film Dokumenter, Instagram: @ffdjogja, Twitter: @FFDJogja
Dwiki – Public Relation Manager
0878-5913-7700 (Whatsapp) // Line: dwikiaprinaldi