Festival Film Dokumenter 16 | 2017: Post-Truth
Ketika semua orang mampu memiliki medianya sendiri, ada perubahan signifikan dalam nilai-nilai kebenaran. Saat ini, kebenaran bukan lagi tentang apa yang terjadi di lapangan, melainkan segala yang sesuai dengan persepsi masing-masing. Fenomena inilah yang mendorong Festival Film Dokumenter (FFD) edisi ke-16 mengangkat tema “Post-Truth” untuk merespon kondisi kebenaran di masa ini. Sebagai salah satu medium penyampai pesan, dokumenter turut menjalankan perannya dalam membangun persepsi dan kebenaran alternatif.
Tahun ini, FFD akan digelar pada tanggal 9-15 Desember 2017 di tiga tempat: Taman Budaya Yogyakarta, IFI-LIP Yogyakarta, dan Villa Sambal. FFD 2017 dibagi ke dalam empat agenda utama, yakni: Kompetisi, Pemutaran Utama, Parsial, dan Lokakarya Film Kritik.
Meneruskan semangat tahun lalu, kategori kompetisi Dokumenter Panjang dibuka dalam rentang internasional. Sedangkan, kategori Dokumenter Pendek dan Dokumenter Pelajar diselenggarakan dalam skala nasional, dengan harapan mampu menumbuhkan gairah membuat film dokumenter pada sineas-sineas Indonesia. Tahun ini, FFD menerima 43 film kategori Dokumenter Panjang Internasional, 85 film kategori Dokumenter Pendek, dan 24 film kategori Dokumenter Pelajar. Juri yang terlibat dalam kompetisi Dokumenter Panjang tahun ini antara lain: Ronny Agustinus (Pendiri Ruangrupa, pengelola Marjin Kiri), Anna Har (Direktur dan Produser Freedom Film Festival), serta Sandeep Ray (Sutradara film “Royal Bengal Rahasya” asal India). Dari Dokumenter Pendek melibatkan tiga orang juri, yaitu: Antariksa (Pendiri KUNCI Cultural Studies), Lono Simatupang (Dosen Antropologi UGM), dan Vivian Idris (Aktris dan Produser). Sedangkan, Dokumenter Pelajar dengan juri: Irfan R. Darajat (Peneliti LARAS), Jason Iskandar (Sutradara film “Seserahan”), dan Steve Pillar Setiabudi (Sutradara film dokumenter “Tarung”).
Agenda pemutaran dibagi ke dalam lima program, yaitu: Perspektif, Spektrum, Dear Memory: Eksperimentasi Ingatan, Doc Music, dan Program Spesial: 5 Pulau / 5 Desa. Perspektif merupakan program utama non-kompetisi yang mengacu pada tema festival. Tahun ini, wacana post-truth dihidupkan melalui beberapa film pilihan, antara lain The Village Bid of UFO (Jepang), Watching the Detective (Kanada), German Youth (Jerman). Program Perspektif juga akan direspon dengan sesi diskusi yang spesifik terkait bagaimana posisi dokumenter di era post-truth bersama Roy Thaniago (peneliti media) dan Tino Saroenggalo (sutradara dan produser film dokumenter)
Program Spektrum hadir sebagai suguhan FFD atas keragaman film-film dokumenter di dunia. Tahun ini, FFD mengambil Retrospektif dari karya Mark Rappaport. Spekrum akan menaruh perhatian pada penggunaan footage film sebagai eksperimentasi lain dalam penceritaan audio visual dalam empat film; The Vanity Table of Douglas Sirk (2014), Becoming Anita Ekberg (2014), The Circle Closes (2015), dan Sergei/Sir Gay (2016).
Program Dear Memory mencoba melihat bagaimana memori direpresentasikan lewat penceritaan visual, teks, dan audio dalam film dokumenter. Program ini dibagi ke dalam dua perspektif yang berbeda. Perspektif pertama adalah Eksperimentasi Ingatan. Perspektif ini merupakan hasil kolaborasi dengan Jurnal Footage yang melihat bagaimana memori direpresentasikan dalam bentuk eksperimental. Film-film yang dipilih dalam perspektif ini adalah; The Troubled Troubadour (Prancis), The Origin of Fear (Indonesia), Memoria (Indonesia). Pemutaran ini juga mengajak penonton untuk berdiskusi dengan Akbar Yumni (Jurnal Footage) dan Sébastien Simon (pembuat film asal Prancis).
Doc Music sendiri merupakan program baru yang mengemas perbincangan musik melalui medium dokumenter. Program ini adalah hasil kerjasama FFD dengan British Council melalui UK/ID Festival. Film-film yang diputar dalam program ini, antara lain; Northern Disco Light (2016), A Distant Echo (2016), RuRu Radio Rock of Tour (2016).
Tahun ini, FFD turut menghadirkan program khusus Pemutaran Perdana dan Diskusi Proyek 5 Pulau / 5 Desa sebagai hasil kerja sama antara FFD dengan Goethe-Institut Indonesia. FFD akan menggelar pemutaran perdana karya pembuat film Indonesia yang dikirim ke lima desa di Jerman selama kurang lebih tiga minggu dari bagian terakhir proyek ini, bertajuk 5 Desa.
Dalam agenda parsial, FFD menghadirkan enam program berbeda: Asian Doc, Docu Francaise, Le Mois du Film Documentaire, Focus Japan, National Film Board Canada, serta Dear Memory: Ingatan dalam Dokumenter.
Asian Doc merupakan program kolaborasi dua festival; Festival Film Dokumenter (FFD) & Jogja NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Sebuah program untuk mengalami Asia melalui berbagai film dokumenter pilihan. Pada tahun ini, Asian Doc menawarkan beberapa film, seperti; I Want to Go Home (Singapura), Phantom of Illumination (Thailand), Mojtamae Laleh (Iran), dan Tetsu Kono’s Crazy Routine (Prancis).
Focus Japan adalah usaha kami dalam melihat Jepang sebagai negara dengan sejarah budaya sinema yang panjang dan cukup mapan. Bersama dengan Japan Foundation, kami tertarik untuk menyaksikan dengan lebih dekat sudut pandang dan cara menanam persepsi yang khas dalam film-film dokumenternya seperti The Lost Dreams of Naoki Hayakawa, Forestry, dan Musume.
Docu Française dan Le Mois du Film Documentaire merupakan dua program kerjasama antara FFD dan IFI (Institut Français d’Indonésie). Docu Francais tahun ini secara spesifik memilih tema cinema-verite gaya pembuatan film dokumenter yang diciptakan oleh Jean Rouch pada tahun 1960-an. Di dalam program Docu Francaise, FFD akan menyajikan film-film cinema-verite Prancis saat ini, seperti Merci Patron (2015) dan Conter Sa Vie (2015). Le Mois du Film Documentaire sendiri akan mendiskusikan bagaimana anak-anak muda mendobrak dan menyiasati kelindan batas sosial-budaya yang ada di dalam ruang sekolah. Film-film yang akan diputar adalah Comment J’ai Deteste Les Maths (2013), Chante Ton Bac d’Abord (2013), La Cour de Babel (2013), serta Les Regles dua Jeu (2014)
Program terbaru dari agenda parsial adalah NFB, buah kolaborasi dengan National Film Board of Canada dan Canada Embbasy. Melalui program ini, kami mencoba memperkenalkan penonton dengan problema dan fenomena khas Kanada melalui karya-karya dokumenter. Film-film yang diputar, antara lain; Nowhere Land (2015), Dialogue(s) (2016), dan Stone Makers (2016).
Ingatan dalam Dokumenter merupakan perspektif kedua dari program Dear Memory. Perspektif ini dihadirkan untuk membaca kenangan-kenangan para pembuat film dalam mengungkapkan konteks yang lebih besar seperti isu politik, media, bahkan sinema. Film-film yang akan diputar dalam program ini adalah; La Rideau de Sucre (Perancis), Odessa, Odessa (Perancis), Every Wall is a Door (Bulgaria).
FFD memilih lokakarya kritik film sebagai agenda Edukasi. Setelah 15 tahun menyajikan sekaligus menyaksikan ribuan karya dokumenter, tahun ini FFD bermaksud menggerakkan penonton untuk merespon film dokumenter. Program hasil kerjasama FFD dengan Cinema Poetica ini berharap dapat meramaikan ranah kritik film serta mengembangkan iklim dokumenter yang sehat. Lokakarya yang akan diadakan secara intensif selama 5 hari, 10-14 Desember 2017.
Lewat berbagai tema dan agenda yang dipilih, FFD percaya jika dokumenter memiliki posisi signifikan dalam yang mencerdaskan masyarakat dan memberi sudut pandang alternatif yang jarang disentuh media arus utama. Sebagai sebuah medium, film dokumenter dapat dimanfaatkan sebagai media aspirasi yang mandiri, menghadirkan pesan-pesan reflektif, serta dapat melewati batas-batas ruang dan waktu.
Pemutaran Perdana & Diskusi Proyek 5 Pulau / 5 Desa
Tahun ini, Festival Film Dokumenter bekerjasama dengan Goethe-Institut Indonesia mengadakan pemutaran perdana dan diskusi Proyek 5 Pulau / 5 Desa (5 Islands / 5 Villages). Film-film 5 Desa, bagian terakhir dari proyek ini akan diputarkan untuk pertama kalinya dalam gelaran Festival Film Dokumenter 2017. Diskusi proyek ini akan didahului dengan pemutaran film-film 5 Pulau. Diskusi akan diisi dengan perbincangan terkait gagasan, pengalaman, dan pembahasan tentang perbedaan ritme kehidupan masyarakat di daerah urban versus terpencil yang menjadi latar proyek ini. Direktur Goethe-Institut Indonesia, Dr. Heinrich Blömeke bersama para pembuat film 5 Desa dari Indonesia dan seorang penanggap akan menjadi pembicara dalam diskusi ini.
Ernst Bloch, salah seorang filsuf kenamaan Jerman memperkenalkan sebuah terma unik: “Ungleichzeitigkeit“. Dalam bahasa Indonesia, terma ini dapat dipahami sebagai situasi masyarakat yang memiliki kehidupan non-simultan atau tidak serentak. Ada masyarakat urban yang bergerak serba cepat, namun di saat yang sama terdapat masyarakat lain di daerah-daerah terpencil yang menjalani hidup mereka dengan lebih lambat. Perbedaan ritme kehidupan ini mendorong terbentuknya segmen-segmen kelompok yang terabaikan, terlupakan, atau terlewatkan dari arus informasi utama.
Perdebatan tentang cepat atau lambatnya ritme kehidupan suatu masyarakat inilah yang menjadi titik mula proyek 5 Pulau / 5 Desa. Proyek ini dikonsepkan sebagai sebuah pendekatan film dokumenter terhadap topik seputar periferi, jarak, waktu, dan pewaktuan. Karya-karya yang dihasilkan dalam proyek ini dikerjakan di tempat-tempat yang kurang tersentuh arus informasi utama. Dengan kata lain, tempat-tempat yang secara geografis cukup menantang karena relatif sulit dijangkau menggunakan moda transportasi biasa atau tempat-tempat yang selama ini jauh dari jangkauan radar media massa arus utama.
Proyek 5 Desa / 5 Pulau terbagi dalam dua bagian: 5 Pulau dan 5 Desa. Pada bagian pertama, lima orang mahasiswa HFBK Hamburg menghabiskan sekitar tiga minggu waktu untuk melihat dari dekat beragamnya kehidupan di lima pulau di Indonesia. Mereka adalah Anna Walkstein (Pulau Halmahera), Max Sänger (Pulau Sumba), Samuel J. Heinrichs (Pulau Rote), Yannick Kaftan (Pulau wangi-Wangi) dan Marko Mijatovic (Pulau Selaru). Hasil dari perjalanan mereka inilah yang dijadikan segmen 5 Pulau.
Pada bagian kedua, 5 Desa, giliran lima pembuat film Indonesia yang dikirim ke lima desa yang berbeda di Jerman selama kurang lebih waktu yang sama. Mereka adalah Andrianus “Oetjoe“ Merdhi (Sumte, negara bagian Niedersachsen), Wahyu Utami Wati (Pellworm, negara bagian Schleswig-Holstein), Bani Nasution (Leidingen, negara bagian Saarland), Tunggul Banjaransari (Welzow, negara bagian Brandenburg) dan Rahung Nasution (Wildpoldsried, negara bagian Bayern).
PEMUTARAN PERDANA 5 DESA
Minggu, 10 Desember 2017 | Societet, Taman Budaya Yogyakarta | 19.00 WIB
Sesi ini akan dihadiri oleh para sutradara
PEMUTARAN 5 PULAU & DISKUSI PROYEK 5 PULAU / 5 DESA
Senin, 11 Desember 2017 | IFI/LIP Yogyakarta | 13.00 WIB
Pemutaran akan diikuti dengan diskusi bersama direktur Goethe-Institut Indonesia, pembuat film asal Indonesia dan peneliti budaya.
Festival Film Dokumenter
Herning Meiana (Herning) – Media Relation Officer
+6281-226-154-078 / Line: herningmeiana
[w] www.ffd.or.id | [t] @FFDJogja | [f] Festival Film Dokumenter | [i] @ffdjogja
Forum Film Dokumenter
+628-112-642-672
Sidomulyo TR IV/278A, Kelurahan Bener, Tegalrejo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55243, Indonesia