PAMERAN TUNGGAL
SENI RUPA RISMANTO “AWAS SPOOR”
AWAS SPOOR…..
(Rismanto dan Gerbong Bermuatan Pesan)
Catatan kuratorial Suwarno Wisetrotomo
Seniman termasuk perupa hari ini dapat berkarya dalam batas tanpa batas, dan dalam ruang tanpa tepi. Begitu luasnya kemungkinan yang bisa dikerjakan, dan sedemikian banyaknya jenis karya seni rupa yang bisa didaku (claiming) sebagai karya seni. Lalu kita semua – penonton, penikmat, kritikus – berada dalam tantangan yang tidak sederhana, yakni bagaimana mengerti dan memaknai karya seni. Begitulah seni (seni rupa) hari; ketika berada dalam kelindan konsep, isu, bentuk, isi, material, teknik, rupa, ruang, gerak, cahaya, aroma, realitas, virtual, asli, tiruan, curian, simulacra, dan lain sebagainya. Namun demikian terdapat aspek yang tak dapat diabaikan, yakni keutuhan visual (kekuatan tata rupa, konstruksi, teknik tampilan/presentasi) yang melekat pada karya seni rupa yang dimaksud. Sekuat apapun gagasan yang mendasari dan pesan yang ingin disuarakan oleh sang seniman, tetapi tanpa ketrampilan, bahkan kecanggihan keutuhan konstruksi visual, tanpa kecermatan dalam tampilan, karya seni rupa yang dimaksud tetap saja berpotensi untuk diabaikan.
Paragraf tersebut sengaja diletakkan di awal tulisan ini, untuk memasuki dunia pemikiran dan karya-karya seni rupa gubahan Rismanto, “Awas Spoor”, dua kata yang bermakna memperingatkan; untuk para pengguna jalan, terutama di area perlintasan kereta api agar hati-hati (karena) spoor akan lewat. Mengabaikan peringatan ini akan berdampak fatal, karena jalan spoor adalah khusus dan harus diprioritaskan. “Awas Spoor” sesungguhnya juga bisa dibaca sebagai cara Rismanto menghadirkan diri dalam medan pergulatan seni rupa yang riuh dan penuh dengan semangat kontestasi maupun kompetisi. Kata ‘awas’ bagi Rismanto bukan dimaksudkan untuk menghardik, apalagi mengancam. Sama sekali bukan. Akan tetapi kata lain dari ungkapan untuk minta ijin; ‘permisi saya akan lewat, saya akan hadir, turut memberi saksi pada keriuhan keadaan ini’. Agar kehadirannya mendapat perhatian, maka Rismanto meminjam diksi, papan peringatan, dan pengumuman berulang dari pengeras suara di perlintasan kereta api; ‘awas kereta’ atau “Awas Spoor”. Jika palang perlintasan diturunkan, siapapun pengguna jalan itu, harus memberi kesempatan kepada si pemilik jalan, kereta api, dan baru bisa melanjutkan perjalanan setelah palang dibuka (dinaikkan).
Demikianlah seharusnya kompetisi dan kontestasi dalam medan seni rupa ini dilalui serta dijalani. Lalu lalang perlintasan, tidak disikapi sebagai membatasi laju siapapun untuk meraih impiannya. Jika para pejalan itu diandaikan sebagai para seniman/perupa, maka perlintasan itu dapat dimaknai sebagai aturan main bagaimana melewati jalan/rute untuk mencapai tujuan dengan ‘baik dan benar’. Selama ini saya lebih suka menganalogikan situasi kontestasi dan kompetisi itu dengan meminjam arena sirkuit. Dalam sirkuit, konfigurasi antara pebalap, mobil balap, pelatih, tim sukses, sponsor, penonton, dan lain-lainnya padu-padan secara sistemik. Rismanto, dengan sikap terbuka membeberkan pengalaman masa lalunya; dari tukang gambar industri animasi, sampai menjadi artisan, dan keinginannya yang besar memiliki identitas sebagai perupa. Keterbukaan ini memungkinkan dirinya membangun jaringan, agar ia bisa melaju dalam sirkuit dengan baik.
Kata Spoor dikutip langsung dari bahasa Belanda; yang memiliki dua pengertian; 1) jejak, pesan, bekas; 2) jalan kereta api, kereta api. Di Indonesia kita mengenal dengan intim dan menyebutnya dengan nama kereta api. Merupakan moda transportasi massal, yang dapat mengangkut beratus penumpang dalam sekali jalan. Di Indonesia, kereta api mengalami perkembangan pasang surut terkait kondisi, fungsi, dan pelayanannya kepada pengguna (masyarakat). Pada suatu waktu, kereta api – berikut infrastruktur pendukungnya, baik pada keretanya, stasiun, pelayanan – menunjukkan bahwa moda transportasi ini hanya untuk masyarakat lapis bawah (yang lapis menengah cukup diakomodasi dengan satu atau dua gerbong kelas bisnis). Akan tetapi kini kereta api melakukan revolusi manajemen yang radikal, yang hasilnya berupa kondisi kereta yang nyaman, aman, pelayanan cepat, stasiun yang tertata, dan kalangan manapun sanggup dan berminat naik kereta api. Dalam hal previlese (previlage) jalur jalannya, kereta api tetap memiliki dan bahkan semakin tertib, termasuk upaya pembangunan rel ganda. Dalam konteks Indonesia, kereta api merupakan moda transportasi terbaik, selain kapal laut, yang mampu mengatasi keruwetan jalan raya, sekaligus mempermudah daya jangkau antarwilayah.
Rismanto, yang sebelumnya ia pernah bekerja di studio animasi, kemudian bekerja sebagai artisan, dan kini menyatakan diri sebagai perupa mandiri – Rismanto menyodorkan dua kekuatan sekaligus; yakni pertama, kekuatan visual yang utuh, dan kedua, kekuatan gagasan (serta pesan) yang mengesankan. Pameran bertajuk Awas Spoor ini menyiratkan pesan kedua-duanya.
Pesan Dalam Logika Animasi
Karya-karya Rismanto yang berupa lukisan (pada kanvas, kertas), dan objek-objek miniatur kereta api (lokomotif, gerbong), miniatur rel, dan miniatur jembatan kereta api. Rismanto juga membuat patung sosok George Stephenson , sang insinyur penemu kereta bertenaga uap. Sebagian besar karyanya fokus pada lokomotif dengan segala detail-detailnya, kemudian rangkaian gerbong untuk penumpang maupun barang. Miniatur jembatan kereta api terdiri dari beberapa ‘potong’ jembatan, yang pada pondasinya – seperti panel-panel dinding – dilukis panorama seperti yang kita saksikan dari jendela kereta ketika melaju dari stasiun yang satu ke stasiun berikutnya; dari kota berangkat hingga ke kota tujuan. Kita melihat hamparan aneka ragam panorama kota, kampung, gunung, sawah, pohon, sungai, dan lain-lain, dalam kelebat gerak cepat, secepat laju kereta api.
Menyaksikan karya-karya Rismanto mengingatkan saya pada dunia animasi. Rismanto, dengan pengalamannya bekerja sebagai penggambar dalam industri animasi, menerapkan pengalaman kerjanya itu pada karya-karya lukisannya. Secara sederhana dapat dijelaskan proses lahirnya ‘gambar bergerak’ dalam dunia animasi (kartun). Untuk membuat sesosok figur dapat bergerak (bergoyang, berjalan, melompat, lari, dan sebagainya), setidaknya diperlukan 12 lembar gambar, dengan citra gerak yang berbeda. Melalui teknologi kamera, dengan cara manual, maka ke-12 gambar itu dapat menciptakan citra bergerak. Sesosok manusia, binatang, pohon-pohon, gelombang air, dan sebagainya, dapat digerakkan sesuai narasi cerita.
Pada karya lukisan, Rismanto menerapkan pengalaman animasi itu dalam bentuk lapis-lapis gambar (layering), perspektif yang matang, tata cahaya yang cermat, dan detail-detail pada objek yang digarap dengan baik. Misalnya bentuk sekrup dan baut pada mesin lokomotif atau pada bentuk rel, dapat dilihat dengan jelas. Pada cerobong asap, keluar asap mengepul. Atau seperti yang tampak pada kereta barang pengangkut tebu (lori), tumpukan tebu itu dihadirkan dengan kelebat-kelebat sapuan kuas, yang hasilnya menjadi citra bergerak (dapat dilihat pada karya “Awas Spoor#, Saatku Merasakan Manis”, 2015; lokomotif yang mengepulkan asap tebal, dan gerbong pengangkut tebu yang tampak terseok karena beban muatan tebu yang penuh).
Tak hanya citra gerak, tetapi Rismanto menjadikan benda-benda itu (lokomotif atau gerbong) lebih dari sekadar ‘mesin bergerak’, tetapi menjadi sosok-sosok hidup yang memanggul nasib. Pada karya “Awas Spoor# Sembilan Kepala Naga”, 2016; merupakan panorama yang dramatis. Sembilan lokomotif berjajar, pada rel masing-masing, setiap cerobongnya mengepulkan asap tebal menghitam, dan karena itu panorama menjadi gelap. Sembilan jalur rel kereta yang berjajar, dan berjajar pula lokomotif yang siap jalan, tak dapat ditemukan dalam realitas keseharian. Itulah dunia imajiner yang memanggul pesan Rismanto. Lokomotif-lokomotif itu bagai makhluk hidup (‘sembilan kepala naga’) yang siap berpacu, seperti tengah berkompetisi dalam arena sirkuit.
Sembilan lokomotif ini pada akhirnya menjadi sosok hidup, hadir di depan kita sebagai metafora yang bisa dimaknai dari berbagai sisi, tergantung pada referensi setiap orang. Jika dilihat dari perspektif diri seorang Rismanto, sembilan lokomotif itu merupakan daya lahir batin dirinya untuk memasuki dunia kepelukisan (kesenimanan) yang tak mudah, dan karena itu harus mengerahkan segala daya. Ia menggerakkan sembilan jurus, bermetamorfosa menjadi lokomotif yang perkasa, dengan kepulan gagasan dan semangat yang penuh tenaga.
Contoh lain dapat dilihat pada karya “Awas Spoor# Kerja, Kerja, Kerja”, 2016; sebuah lokomotif bertenaga uap, bergerak ke kanan, mengangkut sepotong kayu gelondongan yang ukurannya lebih besar dari loko maupun gerbongnya. Cerobongnya mengepulkan asap pekat. Di latar depan, samping kanan rel kereta, tumbuh rerumputan, pada pojok kanan depan dilukis sejumlah bunga matahari yang tengah bermekaran. Kode-kode estetik, metafora dalam lukisan ini hadir dengan menonjol. Kayu gelondongan (bahan mentah yang demikian besar, bagai deposito kekayaan sumber daya alam, budaya, dan ‘bahan mentah’ lainnya, yang belum terolah dengan baik, dan berpotensi salah kelola). Meski terasa mengangkut beban yang demikian berat, namun ‘kereta’ ini tetap harus mengangkutnya. Panorama ini menghadirkan drama yang lain; kelindan antara semangat, kerja keras, dan beban yang demikian berat, namun tetap penuh harapan di ujungnya.
Drama yang lebih puitis tampak pada karya “Awas Spoor# Tak Pernah Padam”, 2016; kereta bergerak ke arah kanan, pada lokomotif tertera kode 7788, dan gerbong paling belakang seperti gerbong barang dengan tulisan READING. Pada sisi kanan rel, terdapat seperti api unggun menyala dari serpihan kayu-kayu kering (ada yang menumpuk, yang lain berceceran). Pada latar, tampak samar-samar, Rismanto mencetak bentuk-bentuk kereta lama, memenuhi sebagian latar kereta yang tengah melaju. Seekor camar terbang persis berada di atas ujung gerbong belakang (burung camar biasa kita lihat di pantai, tetapi Rismanto ‘menempatkannya’ untuk mengikuti laju kereta api). Seperti pada lukisan sebelumnya, Rismanto menghadirkan kode-kode secara berhamburan pada bidang lukisan. Kita bisa melihatnya ajakan Rismanto untuk ‘belajar’ dari sejarah, menjaga semangat, mengingatkan untuk hati-hati dan jangan bermain api, serta teruslah terbang mencari kemungkinan dan meluaskan pandangan. Gerbong pengetahuan terus melaju. Membaca menjadi pintu utama meneuju pengetahuan. Pengetahuan pangkal lahirnya teknologi yang memudahkan kehidupan. Pada karya itu, saya menangkap pesan “melajulah dan bacalah”. Itulah gerak kebudayaan yang berpangkal pada pengetahuan dan kesadaran sejarah.
Rismanto juga melakukan cara lain, bagaimana citra gerak itu dihadirkan. Pada miniatur jembatan, seperti sudah saya sebutkan pada bagian awal catatan ini, Rismanto melukiskan panorama – seperti yang terlihat dari jendela kereta yang sedang melaju – dalam bentuk sequel, sambung-menyambung. Jika kita mengamati sambil berjalan, dari panel yang satu ke panel berikutnya, sejauh kita memiliki pengalaman pernah naik kereta api, kesan dan citra gerak semacam itulah yang bisa dirasakan. Lukisan pada panel-panel itu juga menyodorkan berlapis pengertian terkait dengan pengalaman melihat. Bagi sebagian orang bisa hanya sekadar ingatan tentang panorama yang melintas dan terekam sepanjang perjalanan dengan kereta api. Bagi sebagian lainnya, gambar-gambar itu bagaikan rekaman situs penyeimbang alam semesta, yang sesungguhnya rapuh, karena setiap saat dapat tergusur oleh sikap-sikap destruksi (yang kemungkinan dilakukan oleh persekongkolan antara penguasa dan pengusaha) yang berpotensi terjadinya kerusakan, peralihan lahan menjadi bagunan, gedung, pemukiman, dan lain-lain atas nama pembangunan.
Rismanto juga mengolah detail-detail dalam bentuk miniatur rel kereta api, yang pada dindingnya dilukis detail mesin lokomotif (lihat karya “The Great in The Way”, 2015; kayu, akrilik pada kayu). Karya ini didedikasikan bagi ‘sejarah panjang peradaban dan revolusi Indonesia, melalui sosok L.A.J. Baron Sloet van den Beele. Sejumlah karya miniatur rel dan keretanya, seperti “The Reality My Live is The Past Story”, 2015, yang didedikasikan kepada Geoge Stephenson, sang penemu kereta api.
Pendekatan teknik seperti itu, mengingatkan kita pada pengalaman kerja Rismanto ketika mengerjakan animasi. Itulah yang saya sebut sebagai ‘logika animasi’; menghadirkan citra gerak dalam gambar yang diam. Perspektif, detail, sapuan, panel-panel merupakan penyederhanaan dari animasi yang dapat menciptakan kesan gerak. Pada Rismanto potensi ini digunakan dengan efektif untuk menggeret gerbong-gerbong yang memuat aneka rupa pesan kritis.
Dari sisi visual, karya-karya Rismanto memiliki pesona yang kuat. Ia memiliki kecermatan dalam hal detail, sekaligus tidak kehilangan ekspresi untuk menyuarakan pesan secara tersembunyi. Itulah yang sering saya sebut sebagai kombinasi antara daya pukau dan daya ganggu. Daya pukau adalah aspek ketrampilan tata rupa, dan daya ganggu adalah kekuatan gagasan yang mewujud dalam ketepatan memilih bentuk (sebagai metafora).
Kereta api bukanlah tema baru dalam dunia seni lukis. Sejak lebih dari seabad yang lalu, sejumah pelukis seperti Joseph Mallord William (JMW) Turner (dilahirkan dan meninggal di London, 1775-1850), sudah melukis tema kereta api (seperti pada karya “Rain Steam Speed”), sebuah karya tentang kereta api yang tengah melaju dalam panorama kosong. Claude Monet (dilahirkan dan meninggal di Paris, 1840-1926) melukis berjudul “Train dans la Neiqe dan Gare St Lazare”. Karya-karya mereka, Turner misalnya, dengan warna cokelat kemerahan, dengan sudut pandang tiga perempat pandangan, mampu menghadirkan drama perjalanan kereta api menyusuri hamparan sunyi pinggiran Eropa.
Karena demikian banyak pelukis yang berkarya dengan tema kereta api, maka pada tahun 1970 dibentuk organisasi seniman kereta api (The Gulid of Railway Artists), yang didirikan oleh seniman Terence Cuneo, Don Breckon, David Shepherd, Philip D Hawkins, dan Alan Fearnley. Mereka menyelenggarakan pertemuan dan memberikan pengahrgaan yang disebut “Lawrence Hammonds Award” yang diberikan bagi karya terbaik pilihan publik.
Kembali pada karya-karya Rismanto – lukisan maupun bentuk-bentuk miniatur tiga dimensinya – memiliki daya pukau dan daya ganggu yang menantang pemaknaan berlapis. Proyek jalur kereta api, kini menjadi wacana pembangunan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang memikat, sekaligus menyedot pos anggaran yang tak sedikit. Namun demikian ide besar Presiden Joko Widodo segera diterima dengan baik oleh masyarakat luas, karena baru kali ini pemerintah dengan sungguh-sungguh dan dengan segenap resiko ekonomi, memutuskan membangun proyek tersebut. Sebuah proyek yang memihak rakyat banyak. Rismanto meneguhkan, dan sekaligus memberikan ‘catatan’ kritis. Rismanto berhasil melihat dan bersikap secara ulang alik terhadap tema Awas Spoor; dari persoalan dan kepentingan personal, hingga ke persoalan dan kepentingan publik.
Salah satu pesona seni rupa hari ini adalah berpadunya ketrampilan teknik dengan kekuatan gagasan. Tentu saja ini hanya sepotong pesona, seiring dengan terbukanya sejumlah kemungkinan teknologi yang bisa digunakan, dan keluasan bentuk serta makna seni. Pesona karya-karya Rismanto adalah justru ketika ia mengoptimalisasi teknik melukis yang paling usang – yakni melukis pada kanvas, dengan kuas, cat, dan menyapukannya – kemudian menangkap serta mengolah bentuk-bentuk yang ia lihat dari dekat, yang digunakan untuk menyampaikan pesan secara tersembunyi. Rismanto menawarkan ambiguitas dengan kuat.
Melalui bentuk-bentuk ambigu, siapapun memiliki peluang menyusuri berbagai kemungkinan, dan mengonstruksi makna sesuai selera serta referensi yang dimilikinya.
Catatan:
1. George Stephenson, seorang Insinyur kereta api, penemu kereta api bertenaga uap, dilahirkan di Wylan, Northumberland, Inggris, pada 9 Juni 1787, meninggal pada 12 Agustus 1848 dalam usia 67 tahun.
2. Kini dengan teknologi 3d (tiga dimensi), membuat animasi tidak lagi manual, tetapi sudah menggunakan teknologi digital. Kecanggihan teknologi ini juga menjadikan karya animasi semakin lentur, dan semakin memikat secara visual.
3. Gubernur Jenderal L.A.J. Baron Sloet van den Beele pada tahun 1864, menginisiasi pembuatan jalur rel kereta api yang dimulai dari desa Tanggung menuju Semarang, sepanjang 26 kilometer. Itulah jalur rel kereta api pertama di Jawa (kemudian di Indonesia) yang sangat berarti bagi lalu lalu lintas perjalanan para pejuang revolusi kemerdekaan Indonesia.