ART EXHIBITION : OBSTACLES

ART EXHIBITION : OBSTACLES

Beberapa bulan terakhir, dunia banyak diributkan dengan berbagai macam isu seperti
isu feminisme, kepedulian terhadap alam, dan sosial budaya. Berbagai isu yang muncul
memicu banyaknya kritik dan opini dari berbagai pihak. Banyak yang menunjukkan
kepeduliannya baik melalui media sosial maupun dalam bentuk aksi nyata.

Hal ini menggugah Sembilan seniman asal Yogyakarta; Dimas Saputra, Dirada
Mahendra, Enggar Rhomadioni, Gilang Nuari, Lintang Pramono, Martinus Bitu, M. Aditya
Pratama, Ria Ayu Astari, Ummi Sahabrina Damas, dan Adella Putri sebagai penulis dalam
pameran ini untuk mengekspresikan gagsannya terhadap berbagai isu yang terjadi melalui
sebuah karya yang akan dipamerkan dalam Art Exhibiton: Obstacles. Pameran akan dibuka
pada 15 Januari 2020 dan berlangsung hingga 15 Februari 2020. Pameran bersifat terbuka
dan akan dilaksanakan di Green Host Boutique Hotel yang beralamat di Jalan Prawirotaman
2, No 629, Brontokusuman, Mergangsan, Yogyakarta. Pada pembukaan art exhibition:
Obstacles, Citra sebagai kurator dari Langgeng Art Space juga akan turut hadir untuk
menyampaikan kesan terkait gagasan yang dibawa oleh Sembilan perupa.

Pameran Obstacles bertujuan untuk mengapresiasi sejauh mana pemahaman
terhadap perkembangan seni rupa dan memperkenalkan pengalaman maupun hal baru
dalam karya visual maupun ide konseptual yang tertuang dalam wujud karya dan tulisan.
Pameran Obstacles menegaskan pada “hambatan” yang tentu dirasakan manusia ketika
mencoba untuk menunjukkan kepedulian atau melakukan perubahan dalam masyarakat.
Edukasi mengenai sikap empati dan simpati juga secara implisit ada dalam pameran
Obstacles. Setelah menghadiri pameran ini, pengunjung diharapkan dapat lebih kritis melihat
isu-isu sosial yang muncul di masyarakat.

NARASI OBSTALCES

Manusia kerap berteduh di bawah atap dosa-dosa yang mulai dilazimkan. Semua
pelanggaran dan hal-hal yang tak wajar terlihat sangat jelas, namun pada titik tertentu
manusia justru memilih menjadi buta. Menutup mata atas bencana karena ulah tangan
mereka atau menjadi tuli karena hak-hak minoritas yang masih diperdebatkan. Kampanye
untuk menjaga semesta dan menciptakan masyarakat raharja tampaknya hanya gimik belaka.
Pilar-pilar humanisme tak lagi kokoh menyangga tabiat manusia yang semakin
semena-mena. Alam, binatang, bahkan kaumnya sendiri menjadi bukti runtuhnya sebuah
empati. Menyiratkan kekhawatiran akan tujuan adanya manusia sebagai khalifah di bumi
untuk menjaga dan merawat semesta.

Pembalakan hutan secara liar dan konsumsi plastik yang tanpa ampun kian melukai
ibu pertiwi. Pilunya bumi diikuti sayup-sayup kelompok wanita yang menyuarakan gerakan
emansipasi wanita nyatanya tidak lantas mengikis semua pemikiran konservatif. Mereka
adalah satu contoh dari kelompok minoritas yang haknya mungkin kita rampas.

Banyaknya isu-isu sosial dan budaya yang menjadi dilema dan menciptakan retorika
tentang bagaimana sebenarnya dunia ini seharusnya bekerja. Beban yang dipikul manusia
tampaknya terlalu berat hingga mereka mulai membuat ilusi sendiri tentang konstruksi
masyarakat dan menciptakan sistem kasta bahwa manusia lebih tinggi derajatnya
dibandingkan hewan dan alam. Bahkan manusia beranggapan bisa lebih tinggi derajatnya
dibandingkan manusia lain.

Layer jabatan dan nama belakang yang mulai menutup esensi manusia untuk saling
menghormati satu sama lain. Proses akulturasi yang terjadi sehari-hari terasa semakin
memudar.

Beberapa manusia membuka mata pada runyamnya dunia, lebih banyak lagi yang
memilih buta. Menjalani kehidupan dan bersikap baik-baik saja seakan dunia sudah berjalan
sebagaimana mestinya. Tapi kadang menjadi buta adalah pilihan. Pilihan untuk tidak
membuka mata pada sekitar dan pilihan untuk tetap hidup tanpa bersentuhan.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *