Noise I’m in Love: Ketika Kebisingan Menembus Segalanya Malam Jumat (28/3) yang cerah dan tenang. Kepulan asap rokok yang membumbung tinggi dibalut dengan senda gurau yang intim dan bersahaja. Wisma Seni Taman Budaya Surakarta masih dalam keadaan yang hangat dan temaram seperti biasanya. Arloji ditangan masih menunjukan pukul 19.25 WIB dan dalam beberapa jam kedepan, suasana seperti ini akan berubah drastis 180 derajat. Tepat pukul 19.30, “Noise, I’m In Love” dimulai dengan ocehan duo MC Adis dan Nanang. Mereka memulai acara ini dengan kelakar mereka yang renyah dan gimmick yang cukup menggundang gelak tawa. “Noise, I’m In Love” merupakan gigs pertama diawal tahun 2013 di Kota Solo yang diprakasi oleh Dean Street Billy’s berkolaborasi dengan UKM Band ISI Surakarta. Gigs kali ini menampilkan sebuah pertunjukan musik yang sederhana, menembus norma dan dogma musik yang ada. Tak perlu panjang lebar setelah membacakan sponsor malam ini, Psikotropika dipersilahkan mengambil alih acara malam ini. Sekilas band ini tampak biasa dan normal. Beranggotakan 3 orang dengan peralatan band yang normal. Perlahan drum mulai diketuk membuat ritme untuk kali ini, line bass tipis mengisi kekosongan menjaga nada rendah. Mengalun dengan perlahan dan tenang. Sekilas saya berpikir bahwa ini adalah Blues dengan melodi gitar yang bersih tanpa distorsi. Akan tetapi semua itu adalah tipu daya dan ini adalah “Noise, I’m In Love”. Nanang, gitaris Psikotropika sekaligus MC, mulai memperkosa gitarnya. Mulai dari menyegamakan gitarnya dengan amplifire, dan kemudian menghancurkan konfigurasi efek gitarnya. Raungan gitar dan noise yang dihasilkan efek berhasil mencabik suasana tenang malam itu. Liar dan beringas. Sayang penampilan mereka tidak disaksikan oleh banyak orang, pengunjung mulai berhamburan takala Psikotropika usai mengandaskan ketenangan malam itu. Tampaknya penonton yang baru datang tadi kehilangan salah satu moment terbaik di “Noise, I’m In Love”. Selanjutnya Morphe Memory melanjutkan dengan kebisingannya. Bermodal dari selongsong bambu yang disambungan dengan pedal efek gitar dan kemudian dikawinkan dengan alat bor, maka lahirnya ambient suara yang tringinas. Melengking menyentuh nada-nada atas, membius menembus gendang telinga. Inilah duo bising yang paling dinanti selain headliner acara kali ini. Konon katanya, projek “Bambu Bising” ini merupakan projek lama yang terhenti beberapa tahun silam. Sebuah tragedi menghempaskan Morphe Memory, namun di “Noise, I’m In Love” projek ini kembali dipertunjukan. Usai Morphe Memory, yang tersisa hanyalah tepuk tangan penonton serta dengungan panjang di dalam tempurung kepala. Aksi bising kedua grup tadi, dinetralisir oleh Carment yang didaulat menjadi pengisi acara yang ketiga. Masih dengan formasi yang lama, dan tampaknya Carment memang selalu ditunggu oleh jamaah cutting edge Kota Solo. Terbukti penampilan mereka berhasil membuat penonton yang sedari duduk manis sembari bertegur sapa dengan teman-teman merapat ke depan panggung. Penonton dengan hikmat menyanyikan bait demi bait yang dilantunkan oleh Wisnu sang pendoa dibalik mic. Check sound yang kilat serta peralatan yang terbilang minim tak menghalangi untuk menghasilkan sound yang cukup enak didengarkan. Tak salah jikalau band-band di Kota Solo menggangap Carment adalah band yang memiliki sound terbersih dan “terempuk” di telinga. Hanya di saat Carment bermain, beberapa wanita ekspatriat yang hadir di malam itu mengibaskan rambutnya dan berjoget menikmati musik Indie-rock yang disuguhkan. Apakah Carment idola wanita bule masa kini? Trouble yang cukup lama cukup menghambat penampil keempat untuk unjuk meramu kebisingan yang dia punya. Smith alias Matikau adalah seorang Indonesia asli yang siap mengaduk-aduk suasana malam itu. Tampaknya malam Jumat memanggil dirinya adalah moment yang sangat pas dan mencengangkan. Seketika lampu dimatikan, dan kemudian lantunan narasi layaknya keadaan di alam kubur mulai berkumandang lengkap dengan backsound gemuh kilat yang menggelegar. Jeritan siksa dan isak tangin kepedihan menjadi senjata utama kebisingan Matikau. Efek-efek gitar yang disusun mulai diperkosa untuk menghasilkan bising dan dengungan tajam memekakan telinga. Sebuah jenis pertunjukan yang baru dimana sebuah fenomena alam kubur yang kemudian dirubah menjadi sebuah pertunjukan musik. Bergidik bulu kuduk dikala itu. Matikau sesangar namanya, dan musiknya cukup membuat yang hadir dikala itu ingat dengan akhirat walau sejenak. Institut Seni Indonesia memang gudangnya para seniman. Jikalau anda tidak cukup gila, maka anda belum sampai pada tahapan seniman. Hal itu yang ditampilkan oleh The Sablenk. Seperti namanya The Sablenk yang berarti gila, ketika pemuda mahasiswa ISI Surakarta pun menunjukan kegilaan mereka dalam mercik musik. Panci masak yang biasanya dipakai untuk menggoreng, kini dikawinkan dengan efek gitar dan dimasukan kedalam amplifire. Akan tetapi kegilaan mereka belum berhenti sampai disana, The Sablenk berhasil menciptakan alat musik mereka sendiri dan diberi nama “Senar Mubeng”. Adis menceritakan bahwa The Sablenk mengusung genre Noise/Contemporer. Nada-nada suling yang dimainkan menjadi nada dasar The Sablenk, dan Bebunyian sedari panci dan Senar Mubeng menjadi pelengkap noise alunana mereka. Perlahan mereka bermain dengan alunan yang lambat dan seketika menukik dengan alunan yang cepat, notasi itu terjadi berulang kali. Standing Ovation dan riuh penonton menyambut kesudahan aksi gila The Sablenk. Seniman lokal dalam negeri usai sudah unjuk gigi, kini giliran musisi luar yang pamer keberisikan mereka. Matt Shoemaker, ekspatriat asal USA, dipersilahkan untuk menunjukan kemampuannya. Waktu yang cukup lama diperlukan untuk mengeset alat. Sekitar 10 menit lebih Matt berkutak atik dengan alat-alat bikininannya sendiri. Dia menggunakan tangga, gelang spiral, radio bekas, efek gitar, serta beberapa sensor cahaya untuk menghasilkan alunan musik jiwanya. Menurut selentingan bisik yang terdengar, Matt menghasilkan suara dari gelombang rambat yang dihasilkan oleh gelang spiralnya yang kemudian diolah. Lagi-lagi bebunyian nada tinggi merusak suasana tenang malam itu. Beberapa orang yang hadir dikala itu tertegun dengan seksama menyaksikan penampilan Matt yang ekspesif. Beberapa kali Matt menunjukan guratan wajah yang serius dengan guratan didahinya. Tampak Matt menikmati suara-suara yang melenting yang masuk ke dalam telinganya. Keyakinan itulah yang Matt tunjukan terhadap musikalitas yang dimilikinya. Semua terhenyak, memejamkan mata dan seolah menikmati apa yang disajikan Matt. Pukul 22.00 WIB, dan puncak acara sudah akan dimulai. Nikola Mounoud, noise artis asal Swiss, bersiap pamer musikalitasnya. Dia penampil paling sederhana dengan laptop dan mixer 4 channelnya. Mixer ini langsung dicolok ke 4 sound system yang tersedia malam itu. Meski gear yang digunakannya terhitung minim dan sederhana, namun tenaga yang dihasilkan tidak seminim apa yang dia gunakan. Terbukti sound yang dihasilkan sangat bertenaga dan terasa lebih berat ketibang para penampil sebelumnya. Dia menggunakan feed-back yang ada pada sound system dan kemudian diolah melalui software hasil rancangannya sendiri. Nikola membuat sebuah software untuk mengolah feed-back selama lima tahun dan diberi nama MSP. Penampilan Nikola sangat mengundang rasa penasaran penonton untuk mendekati dan melihat bagaimana dia mengolah semua feed-back yang ada. Decak kagum serta teriakan kegilaan penonton membuat Nikola semakin bersemangat dan kian panas untuk mengutak atik softwarenya. 30 menit sudah kebisisngan memenuhi malam dan mendadak Nikola menutup laptopnya sembari membalikan meja yang ada dihadapannya. Sebuah laptop, mixer, dan smartphone bergeletakan dilantai seketika. Nikola ambruk sembari berkata “Enough, I’m drink to high”. Tampaknya Nikola benar-benar menikmati penampilannya di Kota Solo dan tendensi minuman khas Kota Solo mengantarkan orgasme musikalitasnya. “Noise, I’m In Love” usai dan semua kembali tenang seketika. “Noise, I’m In Love” bisa dibilang bukan gigs yang lazim seperti biasanya. Kali ini “Noise, I’m In Love” menyuguhkan musikalitas yang bener-bener menembus batas-batas norma dan kaidah dalam bermusik. Hampir bisa dibilang 7 tangga nada yang menjadi pakem bermusik selama ini tidak digunakan. Selama semua itu bisa menghasilkan bebunyian maka lanjutkan terus musikmu. Tiada pakem dalam musik ini, semua hanyut dalam dunia individu. Mengutip perkataan nanang “musik noise itu adalah dikala kamu tidak bisa bermain alat musik tapi kamu ingin bermusik, maka itu adalah musik noise”. Selain menembus kaedah bermusik, acara “Noise, I’m In Love” pun menembus antar bangsa. Terbukti baik orang lokal maupun warga negara asing yang hadir dikala itu membaur dan bercengkrama satu dengan lainnya. Tiada sekat kecanggungan miss communication terjadi diantara mereka. Mereka semua berbicara atas bahasa yang sama dan atas intuisi tertajam mereka semua, musik! Gelak tawa, sorak gembira, teriakan kesenangan, sampai obrolan renyak tersaji malam itu, di Malam Jumat yang dingin namun cerah. Semua orang bersuka cita, menyambut keriaan malam itu. Bagi banyak orang kebisingan adalah pengganggu yang menyebalkan, namun lain hal bagi segelintir orang dengan kebisingan mereka bersatu dan bersuka cita bersama. Kebisingan Menembus Segalanya! Text by : ekawan raharja terima kasih, Dimas purnomo @tambunbergairah / @deanstbillys