Cerpenis Tidak Bisa Hanya Mengandalkan Bakat Alam
Indra Tranggono, dalam pengantar Workshop Penulisan Cerpen Festival Sastra Yogyakarta (Joglitfest) 2019,
mengutip pertanyaan sederhana sastrawan kelas wahid Indonesia, yakni Umar Kayam, untuk dilontarkan
kepada para peserta: “Dalam menulis, kowe kuwi arep matur apa? (Hendak bicara apa?)”
Indra kemudian melanjutkan, “Pertanyaan Kayam tersebut menggedor kesadaran bahwa hakikat menulis
cerita pendek adalah berkomunikasi kepada pembaca. Di dalam komunikasi, ada ide/gagasan yang
disampaikan, baik ide sosial maupun ide estetik. Ide sosial berkaitan dengan dinamika permasalahan
kehidupan manusia dan masyarakat, sementara ide estetik adalah simbol, idiom yang mewujud bahasa.
Demikian menurut Ashadi Siregar,” jelas cerpenis kelahiran Yogyakarta, 23 Maret 1960 itu.
Dalam rangkaian pravestival Joglitfest yang bertempat di Sekretariat Jejak Imaji, Prenggan Selatan,
Kotagede,Yogyakarta itu, para peserta pun menyimak paparan demi paparan dari Indra. Acara tersebut
berlangsung hari Selasa, 10 September 2019, dan dibagi ke dalam dua sesi diskusi, dimulai pukul 10.00
hingga 14.00 WIB. Beberapa peserta pun ada yang dipersilakan untuk membacakan karyanya di hadapan
para peserta lain.
Didampingi oleh Wika G. Wulandari sebagai moderator, penulis buku kumpulan cerpen Perempuan yang
Disunting Gelombang (2017) itu menegaskan kepada para peserta, bahwa untuk menjadi seorang cerpenis,
maka tidak cukup hanya mengandalkan bakat alam. “Dunia penulisan cerpen hakikatnya adalah dunia
keilmuan yang didukung cara pandang visioner, imajinasi, prakatik, dan teknik. Disebut dunia keilmuan
karena penulisan cerpen membutuhkan sistem berpikir/logika/penalaran, riset, metodologi, dan lainnya.
Ini menunjukkan menulis cerpen tidak bisa hanya mengandalkan bakat alam dan warisan pengalaman,”
ungkapnya.
Wika sendiri, pasca kegiatan workshop, menyempatkan diri untuk berbagi pandangan perihal pentingnya
posisi seorang penulis cerpen hari ini. Baginya seorang penulis cerpen tetap penting, sebab mereka adalah
para perekam “rasa” dan peristiwa. “Sesuatu yang didokumentasikan atau direkam dalam bentuk cerpen
tentunya lebih efektif dalam menyentuh kesadaran pembaca, sebab wacana-wacana dalam bentuk berita
cenderung menjenuhkan. Toh, cerpen sifatnya fiksi, jadi ada permainan diksi. Di tengah zaman seperti ini,
yang sibuk, cenderung bergegas, dan serba pragmatis, saya rasa kita perlu menghidupkan kembali ruangruang
tempat berlangsungnya hal-hal yang dapat memberikan hiburan, dan cerpen menjadi salah satunya,”
tutur mahasiswi asal Tidore tersebut.
“Sebagai orang yang juga menulis cerpen, saya merasa para peserta yang kini mengikuti workshop harus
sadar pula bahwa diperlukan pula kesiapan fisik dan mental untuk menjadi seorang penulis. Mengapa
demikian? Sebab ketika cerpen kita sudah terpublikasi dan dinikmati khalayak, maka kita sudah tak
memiliki kewenangan untuk membelanya. Mereka telah lepas,” pungkas Wika.