KDM #5 : EDISI RAMADHAN

IMG_20160616_095038

Klub DIY Menonton #5

Selain menjadi bulan berlomba-lomba melakukan amal baik, Ramadhan juga adalah waktu yang tepat bagi kita untuk berkumpul bersama orang terkasih. Klub DIY Menonton kali ini menjadi menarik karena menyatukan segala bentuk kasih ke dalam satu pemutaran film. Klub DIY Menonton akan memutar film anak-anak yang menghibur dan memberi pemahaman tentang toleransai dan mengajarkan sikap jujur. KDM #5 ini pasti akan lebih seru karena dilakukan sembari ngabuburit.
Keseruan Klub DIY Menonton kali ini direalisasikan bersama adik-adik di Panti Asuhan Nurul Haq yang berada di Jalan Janti, Gg. Gemak 88, Bantul. Pemutaran akan dilaksanakan pada hari Jumat 17 Juni 2016 pukul 16.00 WIB sambil menunggu waktu berbuka puasa. Sudah dipastikan gelak tawa akan lepas saat pemutaran, karena ada empat film yang diputar dan dipastikan akan mengaduk-aduk perasaan penontonnya.
Empat film yang akan di putar oleh KDM #5 antara lain: Gazebo (Seno Aji Julius, 2013); Lembar Jawaban Kita (Sofyana Ali Bindiar, 2013); Mak Cepluk (Wahyu Agung Prasetyo, 2014); dan Sarungku Ilang (Yasin Hidayat, 2016). Empat film ini pilih karena mampu menggambarkan bagaimana anak-anak berkomunikasi dengan sekitarnya, berikut cara meraka menyelesaikan permasalahan dengan lingkungannya. Mulai dari permasalahan karena tidak mau mengalah saat bermain hingga permasalahan yang memiliki hubungan dengan dunia pendidikan.
Dengan tajuk “Berbagi Nonton Film”, KDM #5 diharap mampu membagi efek baik untuk adik-adik panti asuhan dan semua yang terlibat di dalamnya. Dengan menonton film dapat dipastikan berpuasa menjadi lebih menyenangkan. Selamat menunaikan ibadah puasa. Selamat menonton!
Salam sinema.

Laporan Naratif Klub DIY Menonton #4 – MeiDoc
Dokumenter Lama dan Aktualitasnya Hari Ini
Prolog
Pada 13 Mei 2016 , tiga film dokumenter dipilih Klub DIY Menonton (KDM #4) untuk penikmat film di Yogyakarta. KDM #4 mengambil tajuk MeiDoc untuk menaungi tiga film dokumenter yang merepresentasikan cara manusia bertahan hidup dan melakoni pilihan hidupnya.
Ada tiga film dokumenter yang diputar pada KDM #4, yaitu Asal Tak Ada Angin (2011) arahan Yosep Anggi Noen, Renita-Renita (2006) arahan Tonny Trimarsanto, dan Buruh Seni (2012) arahan Eden Junjung. Ketiga film ini dipilih karena dianggap mampu menggambarkan kehidupan orang-orang terpinggirkan yang dilihat sebelah mata oleh masyarakat. Film-film ini juga memperlihatkan upaya para tokoh agar dapat diterima disekelilingnya, lingkungannya, bahkan negaranya, serta upaya mereka berjuang dalam menghadapi ujian kehidupan.
Deskripsi Fillm
Asal Tak Ada Angin adalah film yang bercerita tentang Kamek dan teman-temannya. Para perempuan yang loyal terhadap pilihan mereka atau memang tidak tahu harus bekerja sebagai apa, selain menjadi seniman pertunjukan tradisional Jawa. Mereka mendirikan panggung ketoprak di tengah lapangan luas sebagai arena juang mencari penghasilan. Melalui filmnya, Yosep Anggi Noen mengajak kita melihat drama sesungguhnya di balik rias tebal, rancang busana, dan gemerlap tata cahaya. Merasakan denyut nadi kelompok teater tradisional ini dari balik sekat-sekat gedhek yang mereka jadikan sebagai tempat tinggal. Sebuah narasi tentang hidup dan makna kesetiaan di tengah arus modernitas.
Renita, Renita adalah sebuah film yang bercerita tentang perjalanan hidup Renita yang merasa dirinya terjebak di tubuh seorang laki-laki. Berkeinginan menjadi seorang perempuan sejak kecil, tapi ditentang oleh keluarganya. Ia lalu memutuskan pergi dan bekerja sebagai pelacur. Berharap mendapat kebebasan, tapi justru yang ia dapatkan adalah kekerasan dan diskriminasi dari sesamanya dan masyarakat di mana ia tinggal. Tonny Trimarsanto berhasil memaparkan kisah Renita secara jujur dan lugas. Membuka keran baru wacana dan sudut pandang kita sebagai penonton yang jarang bersinggungan langsung dengan mereka.
Terakhir, Buruh Seni adalah film tentang narasi hidup seorang seniman jalanan bernama Digie Sigit. Ia masih terus berjuang menyuarakan suara para buruh yang menjadi korban ketidakadilan melalui karya stensil di ruang-ruang publik. Di saat arus informasi membuat masyarakat di Indonesia makin berkurang kepeduliannya terhadap isu-isu penting, Digie Sigit terus konsisten dalam menyuarakan kegelisahannya, meski secara aspek ekonomi tidak memberikan apapun untuk dirinya.

Penonton Bertahan
Ketiga film yang diputar di KDM #4 selalu mendapat tepuk tangan meriah. Penonton diajak melihat sisi lebih dalam dari orang-orang yang diabaikan. Tawa, haru hingga ekspresi khawatir yang tampak pada raut wajah para penonton, seolah hanyut dalam kehidupan yang begitu pelik yang dihadapi para tokoh dalam ketiga film tersebut. Setelah keseluruhan film yang diputar selesai, Reza selaku host kembali mengambil alih acara, tak banyak berpanjang lebar kendali acara langsung dilempar kepada Suluh Pamuji untuk memoderatori sesi diskusi bersama para sutradara dari masing-masing film.

Sesi Tanya Jawab
Sesi diskusi dibuka oleh Suluh Pamuji dengan menjelaskan bahwa dirinya menggantikan Ahmad Anggoro selaku Juru Program dalam KDM #4 yang berhalangan hadir. Menjadi ciri khas Suluh, sebagai moderator yang aktif dan mengerti benar materi yang diputar persesinya, beliau selalu membuka sesi diskusi dengan pertanyaan pemantik, kali ini pertanyaan yang beliau lontarkan seputar mengapa mengambil subjek tersebut untuk diangkat kedalam film yang dibuat oleh masing-masing filmmaker. Pada malam itu, sutradara Asal Tak Ada Angin, Yosep Anggi Noen juga berhalangan hadir maka dari itu pertanyaan dari Suluh hanya mampu dijawab oleh Tonny Trimarsanto dan Eden Junjung untuk film mereka masing-masing. Mas Tonny panggilan akrabnya, menjadi penjawab pertama dari pertanyaan Suluh, “Terimakasih sudah mau menonton film saya, awalnya film ini adalah pesanan Komnas Ham. Saya diminta untuk membuat film tentang masyarakat minoritas, tapi setelah film ini jadi mereka tidak mau menerima dengan alasan Renita-Renita terlalu sensitif untuk sebuah institusi. Akhirnya untuk memenuhi permintaan tersebut saya mengganti dengan film yang temanya gitu-gitu aja. Jadi awalnya Renita-Renita ada karena pesanan”. Giliran menjawab berpindah kepada Eden Junjung untuk filmnya, Eden membuka dengan berterimakasih kepada penonton telah menonton Buruh Seni, lalu lanjut menjawab “Film ini saya bikin waktu itu karena saya dekat secara personal dengan tokoh dan kebetulan waktu itu saya masih kuliah di ISI (Institut Seni Indonesia), saya mengajak teman-teman kuliah saya untuk membuat film ini. Mereka sepakat, jadilah film ini.”
Setelah Eden menjawab, Suluh melemparkan kesempatan bertanya kepada para penonton. Lemparan tersebut langsung ditangkap oleh Ismail Basbeth yang sepertinya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dengan gaya membanyolnya yang khas Ismail membuka pertanyaan dengan membuat tertawa isi ruangan. Pada point pertanyaannya adalah “Sebelumnya saya sudah pernah menonton film-film ini kecuali punya Yosep Anggi Noen, ketika setelah bertahun-tahun saya akhirnya menonton kembali film ini masih terasa getarannya. Aku pengen mengetahui, menurut kalian film ini sekarang masih aktual nggak dengan pemikiran kalian sekarang dan dengan melihat persoalan-persoalan sosial saat ini?”. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Tonny Trimarsanto, menurutnya sebagai filmmaker yang bahkan jarang menonton film Renita-Renita, isu transgender yang diangkat dalam film ini masih relevan hingga sekarang. Bahkan setelah Renita-Renita menang dimana-mana, Tonny membuat versi panjangnya sekitar 98 menit. Tahun lalu beliau berada di Aceh dan membuat lagi film tentang transgender, Tonny mengaku sudah jatuh cinta dengan isu ini. Hingga saat ini Tonny sedang dalam masa produksi kembali membuat film tentang transgender. Menurutnya, setiap film mempunyai peran sendiri-sendiri, tapi ketika peran itu masih aktual atau tidak mungkin dalam wilayah yang berbeda. Artinya setiap film pada satu tempat dan ruang pasti akan mempunyai peran, tapi akan selesai pada waktunya dan akan punya peran lagi di tempat dan ruang yang berbeda.
Eden melanjutkan menjawab untuk Buruh Seni, beliau merasakan hal serupa dengan yang Ismail rasakan. Eden mengaku sudah cukup lama tidak menonton Buruh Seni dan ketika kembali menonton dikesempatan ini, Ia merasakan ada hal yang juga menggetarkan hatinya. Membahas tentang keaktualan Buruh Seni, Eden merasa filmnya tersebut saat ini semakin aktual, menurutnya film yang Ia buat bersama teman-teman membahas tentang pemasangan iklan di ruang-ruang publik dan pembangunan, sampai saat ini isu tersebut bertambah marak dan semakin banyak mejadi pembahasan publik yang resah dengan adanya isu yang dihilangkan dan pembangunan semakin merajalela. Bahkan Eden berharap agar isu yang diangkat dalam Buruh Seni tidak aktual lagi, agar keadaan yang tidak baik-baik saja berubah menjadi lebih baik sehingga filmnya tidak menjadi aktual. Jawaban Eden tersebut di sambut dengan teriakan “Amin!” oleh Ismail Basbeth dan mendapat tepukan meriah dari penonton.
Danastri (Alumni Universitas Gadjah Mada) sebagai penonton setia KDM, merasa perlu mengetahui di mana saja film-film ini diputar dan apakah ada yang tidak setuju bahkan tidak suka dengan cerita yang diangkat. Eden menjawab “Kalau seingat saya film ini pernah diputar di Jakarta, Bandung, Malang dan Yogyakarta, total pemutaran ada 12 kali. Sejauh ini saya belum menemukan penonton yang tidak setuju dengan Buruh Seni, jadi kalau mungkin disini ada yang tidak setuju, monggo, mari kita diskusikan..”
Jawaban dilanjutkan oleh Tonny, Renita-Renita juga mempunyai perjalanan menarik, diputar di Singapore, New Zealand, Italy, menang di India dan Filipina dan beberapa negara lain yang Tonny sudah tidak lagi begitu mengingatnya karena sudah terlalu lama. Untuk tidak setujunya orang lain terhadap Renita-Renita, justru si tokoh utama, Renita, sering dipanggil kebeberapa tempat untuk menjadi narasumber di forum-forum terbatas. Tonny mengaku kontroversi yang terjadi tidak begitu berarti bahkan nyaris tidak ada.
Rasa ingin tahu yang tinggi dan tertariknya terhadap film yang disajikan oleh KDM membuat penonton relatif aktif dalam sesi diskusi. Ulfa dari Kamisinema bertanya untuk Eden “Kenapa narasumber terisnpirasi oleh Marsinah?”. Eden menjawab dengan percaya diri, bahwa menurutnya narasumber terisnpirasi karena ketika Mrsinah memperjuangkan keadilan untuk rekan-rekannya sebagai sesama buruh dan setelah itu beliau malah dibunuh secara keji. Menurut Eden untuk seorang manusia yang bisa berpikir secara jernih, pasti tidak akan terima ketika sesama manusia diperlakukan seperti itu. Maka dari itu Marsinah sebagai tokoh buruh Indonesia menjadi isnpirasi dari karya-karya yang diciptakan Sigit (tokoh utama Buruh Seni).
“Sejauh mana kalian berdua menghayati fungsi filmmaking diwilayah sosial itu sendiri?” Pertanyaan ini dilontarkan Ismail Basbeth yang bersemangat ketika mendapat kesempatan kedua untuk melampiaskan rasa penasarannya. Eden merespon pertanyaan dengan gayanya yang santai, beliau mengatakan bahwa sebagai filmmaker membuat film adalah ketika hal yang diangkat dianggap penting. Selain faktor tersebut, menurut Eden membuat film juga dengan kejujuran. Pengaruhnya bagi sosial, Eden mengutip statement “Sekecil apapun yang kita buat dengan kejujuran, pasti akan berdampak ke orang lain” dan beliau merasa kutipan tersebut tejadi pada Buruh Seni. Selesai Eden menjawab, microphone diberikan kepada Tonny untuk bergantian menjawab pertanyaan Ismail, beliau memutuskan untuk membuat film sendiri berawal dari kegelisahan terhadap persoalan-persoalan yang diabaikan, berangkat dari hal tersebut Tonny merasa yakin film dokumenter yang beliau buat akan menjadi suatu ruang pembelajaran. Sebagai contoh, setelah membuat Renita-Renita, Tonny tidak menduga tokoh utama dari film tersebut menjadi pembicara dibanyak forum diskusi terutama untuk masyarakat minoritas.
Penutup
Malam itu sekitar 70-an penonton hadir dan bertahan. Tampak kecewa di raut wajah penonton ketika Suluh menutup kesempatan bertanya pada malam hari itu. Terbatasnya waktu memaksa Suluh untuk menyudahi sesi diskusi tersebut.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *