REVIEW: SINCE TOMORROW #3

surnal 2 cover surnal gladinasaska (instagram & twitter) stereosnap id gladinasaska (instagram & twitter) stereosnapid (3) gladinasaska (instagram & twitter) stereosnapid (8) gladinasaska (instagram & twitter) stereosnapid_9 pogo surnal 1

Since Tomorrow #3: Peluh, Asap Rokok, dan yang Penting Bersenang-Senang!

Maja House, Jln. Sersan Bajuri no. 5B, Bandung
26 Maret 2016, pukul 20.00 s/d selesai
The Fox and the Thieves, Sigmun, Kelompok Penerbang Roket

Oleh: Mirza P. Wardhana

Saya sedang dalam perjalanan dengan menunggangi kuda besi menuju Maja House, venue dari Since Tomorrow #3, sebuah acara tahunan yang telah absen selama dua tahun ini. “Anjing! Maja teh jauh, euy!” Saya sedikit mengumpat dalam hati sambil terus saja membetot gas dan sesekali memperhatikan bar bensin yang sudah berada tepat di huruf E. Hujan juga tanpa ampun membasahi sekujur tubuh. Sebenarnya saya bosan untuk menulis kalimat pembuka tulisan yang selalu terselip kata hujan, tetapi memang itulah yang mewarnai sepanjang perjalanan saya menuju tempat yang berada di Jalan Sersan Bajuri, Setiabudi ini.
Akhirnya saya sampai di venue dengan keadaan basah. Bertempat di lantai dua Maja House, Since Tomorrow #3 ini ternyata belum dimulai. Penonton sudah mulai berdatangan. Saya sempat berpikir bahwa saya salah memakai dresscode. Apa pasal? Karena sejauh saya memandang, Maja House malam itu dipenuhi oleh aa-aa bercelana cutbray, berambut gondrong dan berkaus hitam.
Karena dingin yang masih terasa, akhirnya rokok pun jadi sebuah alternatif yang saya dan kawan-kawan lain lakukan untuk sedikit menghangatkan tubuh, selain dengan ‘hangat-hangat natural’ yang lain. Setelah beberapa batang rokok dibakar dan bercengkrama dengan beberapa kawan yang saya temui, akhirnya acara dimulai dengan tanda The Fox and The Thieves yang dibai’at untuk menjadi penampil pertama sudah berada di atas panggung.
“Hayu ah. Biar kebagian di depan,” ujar salah seorang kawan saya. Kami pun mulai masuk kedalam.
Ternyata saat kami masuk kedalam, penonton sudah memenuhi ruangan hampir setengahnya. Di saat kawan-kawan lain bergerak ke arah depan panggung, saya memilih untuk berdiri di dekat sound desk agar mendapatkan suara yang bagus. Meskipun tak bisa melihat aksi secara langsung, setidaknya saya tetap bisa mendengarkan sound mereka dari posisi yang pas.
“Ini show spesial bagi kami karena merupakan gigs pertama di tahun 2016” ujar Al, penguasa mic dari The Fox and The Thieves, setelah memainkan lagu pembuka. Jujur, saya tidak begitu familiar dengan The Fox and The Thieves, bahkan ini pertama kalinya saya melihat penampilan mereka. Meskipun saat saya melihat sekilas penampilannya (saya hanya bisa melihat panggung jika berjinjit saja, selebihnya lighting di atas panggung dan rambut gondrong nan wangi orang-orang di depan saya), mereka tampil secara prima dan tanpa cacat.
Beberapa nomor mereka yang berbau heavy metal dengan aura gelap dan mencekam mereka mainkan, seperti “Out of Blood and Brittle Bones”, “Deep Space Alligator”, “Manipulator March”, dan ‘Foxes’. Setelah kurang lebih 40 menit, set mereka berakhir dengan riuh tepuk tangan seluruh penonton yang berada dalam ruangan.
Suasana dalam ruangan yang semakin penuh membuat saya keluar barang sebentar. Lagipula ada jeda waktu sebelum Sigmun mulai bermain. Saat saya berjalan keluar, saya seperti merasa tersegarkan kembali. Udara di luar ternyata lebih bersih dibandingkan di dalam yang membludak dan penuh dengan kepulan asap rokok dan bau keringat. Tapi toh, itu memang ciri khas dari acara serupa. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Hanya saja, tidak semua orang di dalam ruangan adalah perokok, dan bahkan, tidak semua orang di dalam ruangan itu adalah pria. Nanti akan saya perjelas lagi bagian ini.
Sigmun sudah berada di atas panggung saat saya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam ruangan. Saya kembali berdiri di dekat sound desk, lagi-lagi untuk mendapatkan sound yang bagus.
“Assalamualaikum,” teriak Haikal Azizi, sosok flamboyan yang menenteng SG custom kesayangannya itu. Penonton berteriak membalasnya, “Waalaikumsalam.”
Setelah itu, intro dari “In the Horizon” pun terdengar. Penonton berteriak kegirangan. Rambut-rambut gondrong mereka yang ternyata harum ini mulai bergerak-gerak berkelindan dengan ketukan drum lambat namun bertenaga dari Pratama Kusuma Putra.
(Ada satu kelakar yang sering muncul jika saya dan kawan-kawan membahas lirik-lirik Sigmun. “Denger liriknya Sigmun teh kayak baca komik Tatang S., euy,” ujar salah satu kawan saya. Kemudian dia menjelaskan bahwa lirik-liriknya gelap, banyak yang berbau kematian, tapi disisi lain ini merupakan peringatan bagi kita bahwa hidup itu hanya sementara. Entahlah. Wallahualam.)
Sigmun pun melempar beberapa hits lainnya. Seperti yang kita tahu, meski durasinya panjang-panjang, namun hal ini tak membuat penonton merasa bosan dan lelah. Sebaliknya, malah membuat penonton lebih bersemangat.
Saat lagu telah memasuki akhirnya, saya memutuskan untuk kembali keluar. Selain karena merasa pengap oleh asap rokok dan ruangan yang tak memberi keleluasaan untuk bergerak, kondisi saya yang belum tidur sejak malam sebelumnya dan kondisi perut yang mulai mengeluarkan suara-suara nelangsa membuat kepala saya sedikit kliyengan. Akhirnya lebih baik bagi saya untuk mendapat asupan udara segar dan cukup untuk melihat panggung dari kaca-kaca di balik meja bartender saja.
Sesaat setelah saya sudah berada di luar ini, saya masih melihat rombongan penonton yang baru berdatangan dan mencoba untuk masuk. Saya makin tak bisa membayangkan bagaimana kondisi di dalam ruangan saat itu. Yang saya tahu, Sigmun mulai memainkan lagu “Vultures” yang dilanjut dengan “Ozymandias”, dibarengi oleh teriakan-teriakan penonton seperti “Sigmun band syariah!”, “Sigmun kalau manggung minumnya air zam-zam!” hingga pekik “Allahuakbar!” tertangkap oleh indra pendengaran saya di saat jeda lagu.
“Agak ganggu juga sih itu. Not everyone would understand their inside jokes,” komentar Puja Nurkholifah, yang sejak beberapa menit sebelumnya memutuskan untuk keluar dari ruangan dengan alasan yang sama: pengap oleh asap rokok dan kapasitas ruangan yang overloaded. “It was funny at first soalnya memang ciri khas gigs-gigs intim kan kayak gini. Tapi lama kelamaan jadi annoying dan malah ngurangin durasi,” tambahnya.
Saya setuju dengannya. Karena tidak semua orang mengerti dengan inside jokes seperti itu dan hal ini sedikit merusak kekudusan penampilan Sigmun. Tapi sudahlah, saya tak bisa menyalahkan penonton karena kobaran semangat yang diakibatkan oleh musik Sigmun yang macho ini sedang merasuki mereka. Kalau sudah bersenang-senang, kan, perduli setan dengan hal-hal lainnya.
Setelah beberapa lagu mereka mainkan, intro “Red Blood Sea” terdengar. Lagu ini ternyata merupakan penutup dari penampilan pertama Sigmun di Bandung setelah konser launching Crimson Eyes di IFI bulan Desember silam. Secara keseluruhan, Sigmun tampil sempurna seperti biasa. Hanya saja, sound sebelah kiri yang beberapa kali mati lantas merusak kesempurnaannya.
Seperti tak mau kehilangan tempat, para penonton yang berada di dalam ruangan sepertinya tak rela untuk keluar dan kehilangan posisinya di dalam saat jeda menunggu Kelompok Penerbang Roket bersiap-siap. Yang ada, malah penonton-penonton yang baru saja berdatangan mencoba untuk merengsek masuk kedalam ruangan. Lagi-lagi saya tak bisa membayangkan bagaimana kondisi di dalam ruangan. Saya sendiri sudah tak ada niatan untuk kembali masuk kedalam meskipun saya penasaran dengan penampilan dari Kelompok Penerbang Roket yang sedang ramai dibicarakan orang ini.
Intro sudah mulai terdengar. Ah, Kelompok Penerbang Roket sudah mulai menghajar telinga penonton ternyata. Aura bising layaknya persetubuhan antara 70’s hard rock dengan punk ini langsung terasa saat nada demi nada dari lagu “Mr. Bloon” mulai terdengar yang lalu dimainkan secara medley dengan “Anjing Jalanan”. Hal ini membuat suasana venue yang sudah panas kian mendidih.
Saya yang berdiri di dekat tangga, melihat beberapa orang yang tergopoh-gopoh menaiki tangga sambil berlari. Salah seorang dari mereka berkata, “Anjing! KPR udah mulai. Buru euy!” Ucapnya, pada seorang kawan yang berada di belakangnya. Hal ini semakin menyadarkan saya bahwa Kelompok Penerbang Roket adalah band yang paling ditunggu oleh mereka yang datang pada malam itu.
Saya yang hanya bisa melihat dari jendela (itupun masih terhalangi oleh orang-orang yang nekat menaiki jendela tersebut), melihat penonton di dalam sudah mulai liar. Mereka melompat-lompat dan mengangkat tangannya ke udara sambil ikut bernyanyi.
Itu kegilaan penonton. Sayangnya saya tak bisa melihat bagaimana kegilaan penampilan Kelompok Penerbang Roket di atas panggung. Saya hanya bisa membayangkan: Coki dan Rey tampil tanpa busana—maaf, maksud saya bertelanjang dada—sambil meraung-raungkan gitarnya. Peluh menetes membasahi sekujur tubuhnya sambil tanpa lelah membawakan lagu-lagu mereka dari mulai “Dimana Merdeka” hingga “Cekipe.”
Setelah memainkan lagu “Cekipe”, saya hanya mendengar gebukan drum tanpa suara instrumen lain. Bukan karena terdapat masalah dengan gitar, bass dan mikrofon mereka, tetapi ini karena Viki sedang bersolo ria. Hentakan liar dan bertenaga ini, kemudian disusul dengan ‘Target Operasi’ yang membuat penonton semakin menjadi-jadi. Karena lagi-lagi saya tak bisa melihatnya, saya akan membayangkan apa yang terjadi didalam.

Kira-kira seperti ini: penonton telah basah oleh peluh. Panas yang terasa tak begitu merusak semangat mereka untuk saling menubrukkan tubuh satu sama lain dan ikut berteriak. Kepulan asap rokok bersatu dengan perpaduan cahaya warna-warni yang keluar dari lampu sorot. Beberapa penonton menaiki panggung, mencoba merebut mikrofon dan berteriak sambil kemudian loncat kembali ke arah penonton untuk stage dive. (Ternyata bayangan saya ini 90% benar setelah saya bertanya pada beberapa kawan yang berada di dalam ruangan. Sebagai seorang berbintang Pisces, saya ternyata berhasil.)
Lanjut ke lagu selanjutnya, “Haai”, Haikal Azizi dari Sigmun turut menaiki panggung untuk menggantikan peran Benny Panjaitan yang menyumbangkan suaranya dalam versi Kelompok Penerbang Roket untuk lagu Panbers ini. Kolaborasi tersebut terdengar sangat apik. Kelompok Penerbang Roket yang telah membawakan sembilan lagu tak sedikit pun terlihat kelelahan. Mereka malah tampil lebih brengsek saat dua lagu terakhir mereka bawakan, “Djakarta City Sound” dan “Mati Muda”.
Sepertinya, para penonton yang sudah mencapai klimaks itu makin membuat mereka bersemangat. Akhirnya penampilan edan Kelompok Penerbang Roket yang sayangnya lagi-lagi dinodai oleh sound di kiri panggung yang sempat beberapa kali mati ini, diakhiri dengan teriakan bersemangat penonton mengikuti nyanyian Coki dalam lagu penutup mereka, “Mati Muda”.
Dari luar, saya melihat wajah-wajah penuh lelah dari penonton yang basah akibat keringat saat mereka keluar. Tetapi muka-muka mereka tampak sumringah dan penuh kebahagiaan. Mereka telah bersenang-senang. “Persetan dengan kurangnya oksigen dan penuhnya ruangan. Yang penting, kan, bersenang-senang.” Mungkin itu yang ada di dalam benak mereka.
Lalu tiba-tiba saya dihampiri oleh salah satu kawan saya, seorang perempuan yang datang-datang langsung curhat. “Mereka pada moshing tapi enggak merhatiin kalau ada cewek di sana” ujar Oki Turatula Narendra, namanya. “Aku nyampe ngomong ‘woy ada cewek nih’ sama mereka,” lanjutnya.
Dan inilah yang tadi ingin saya tulis. Selain kondisi ruangan yang sudah dalam tahap overloaded ini cukup mengurangi kekudusan acara, apalagi dengan aura pengap yang terjadi akibat perpaduan antara sistem ventilasi yang minim dan kepulan asap rokok yang tak henti-hentinya dihembuskan para penonton, seharusnya para pria-pria pun seharusnya bisa lebih bijak saat moshing dengan lebih memperhatikan keadaan sekitar. Barangkali ada perempuan di sekitarnya.
Dan juga mungkin saran saya, bagi perempuan-perempuan yang menyambangi acara seperti ini, segeralah berpindah posisi jika para pria sudah mulai moshing. Karena percayalah, saat moshing, rasanya seperti mengikuti Tarawangsa di Rancakalong: sekali gerak, kita langsung tak sadarkan diri layaknya sedang kerasukan.
Tetapi lagi-lagi disini saya tak bisa menyalahkan mereka karena saat musik sudah dimainkan, semua hal bisa terjadi. Toh, semua yang hadir pada malam itu sepertinya datang dengan niatan untuk bersenang-senang, dan mereka melaksanakannya. Pun setidaknya, meskipun masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan jika penyelenggara akan membikin Since Tomorrow #4, gelaran malam itu sukses karena hampir semua penonton yang datang telah bersenang-senang dengan caranya masing-masing.

Foto: Bobby Agung Prasetyo

@gladinasaska (instagram & twitter)
stereosnapid

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *