UNSPOKEN : PAMERAN FOTOGRAFI ANGKATAN I KELAS #SAYABERCERITA

Dokumentasi oleh Wirasathya_pameran foto Unspoken_ at Uma Seminyak (01)

UNSPOKEN
“Photography is a small voice, at best, but sometimes one photograph, or a group of them, can lure our sense of awareness.”
W Eugene Smith

Seorang bapak tua mengayuh sepeda gayungnya pelan-pelan, melewati jalanan paving yang penuh debu. Jalan itu membelah Setra Agung Badung (kuburan). Tiap sore, sepulang dari kantor, Candra Dewi melewati jalan itu juga. Bertemu orang-orang seperti si bapak tua pengayuh sepeda, menikmati suasana setra dengan berbagai aktifitas sore. Sebagai perempuan Bali yang menghabiskan masa anak-anak di luar pulau, pada mulanya Candra tidak begitu akrab dengan keriuhan tersendiri yang diciptakan kompleks pemakaman ini. Namun seiring waktu, proses adaptasi yang cukup panjang membuat Candra mempunyai sudut pandang yang menarik. Alih-alih menganggap setra ini sebagai jalanan yang dilewati tiap pulang ke rumah, Candra justru menemukan sebuah perenungan. Dia mempertanyakan tentang jalan pulang yang lain, jalan pulang menuju rumah yang abadi.
Pada karya berjudul “Jalan Pulang”, Candra mengajak kita berjalan melewati lingkungan setra yang dia lewati tiap sore. Membaca berbagai peristiwa dan situasi yang dia tangkap dalam foto-foto yang didisplay di atas meja. Sekaligus mengajak kita merenungi batas-batas kematian dan kehidupan yang bersisian.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak cerita sederhana di sekitar kita yang menarik. Cerita-cerita yang tidak dikatakan, atau jarang dikatakan, namun sebenarnya mempunyai keunikan tersendiri jika kita membicarakannya. Cerita-cerita itu terkadang menggelitik, lucu, haru, serta tak jarang pula membuat kita intropeksi dan belajar.
Seperti karya Nyoman Arya Suartawan yang berjudul “Ikan Cupang”, dia menceritakan tentang hubungan personal dia dengan ikan-ikan cupang hias. Berawal dari iseng memelihara 1 ekor ikan cupang hias, kemudian dia ketagihan dan memelihara hingga lebih dari 70 ekor. Dia mempelajari segala macam hal yang berhubungan dengan ikan cupang, cara merawat, makanan, obat, perkembang biakan dan lain-lain. Begitu besarnya minat dia kepada ikan cupang, dia bahkan merawat ikan-ikan cupangnya seperti bagian dari keluarganya. Istri dan anak-anaknyapun juga ikut merawat dengan penuh kasih. Keberadaan ikan-ikan cupang di rumahnya menjadi sebuah hal yang amat penting. Setiap pulang kerja, ikan-ikan cupang ini dimanfaatkan sebagai media refreshing, Arya duduk santai di depan aquarium-aquariumnya untuk menikmati liukan gerakan ikan-ikan cupang itu mengelilingi ruang aquariumnya.
Wayan Martino juga mempunyai cerita yang menarik, tentang keseharian bapaknya dengan radio, yang membuat Martino berhadapan dengan situasi antara khawatir dan cemas, sekaligus sebagai media belajar kepercayaan diri. Tiap pagi suara radio yang fals itu membangunkan tidurnya, sekaligus membuat dia kuatir, suara kencang radio bapaknya itu akan mengganggu tetangganya yang masih terlelap. Rupanya radio itu bersuara lebih cepat dari kokokan ayam jago.
Karya Martino berjudul “Radio Bapak” ini unik, kita diajak untuk bertatap muka dengan bapaknya. Bercakap-cakap dengan suasana rumah dan tempat-tempat yang hampir setiap hari dilewati bapaknya sambil mendengarkan radio. Membaca foto-foto Martino seperti masuk ke dalam kehidupan personalnya sebagai anak seorang bapak yang beberapa kali menginap di rumah sakit jiwa, dan ikut serta dalam proses pembelajaran Martino menjadi seorang yang percaya diri.
Karya Candra, Arya dan Martino ini adalah tiga dari 7 karya foto yang dipresentasikan dalam Pameran Foto “UNSPOKEN” di Uma Seminyak, 11-23 Maret 2017. Pameran foto ini menampilkan 7 foto cerita personal yang dikerjakan dalam beberapa bulan ini, karya dari angkatan pertama kelas #SayaBercerita. Dengan pendekatan fotografer sebagai subyek, karya-karya mereka menjadi sangat personal. Melalui karya mereka, kita bisa melihat cerita-cerita yang selama ini dianggap tidak ada, namun sebenarnya terjadi di sekitar kita sendiri.
Seperti karya Ratnayanti Sukma, dia menceritakan tentang keluarganya. Ratna sebagai anak pertama yang menginjak usia dewasa, menyadari bagaimana sistem komunikasi keluarganya yang telah pasif bertahun-tahun. Kesadaran itu muncul ketika dia tidak sengaja pertama kalinya mempunyai foto keluarga lengkap, tepat saat hari ulang tahun ayahnya. Dari foto itu dia berusaha merekonstruksi apa yang terjadi dalam sistem komunikasi di keluarganya, bagaimana sosok ayahnya sebagai satu-satunya pria di keluarganya menjalani keseharian. Dan pada proses pengerjaan karya fotonya ini, dia menemukan banyak cerita di keluarganya, yang akhirnya membuat dia dan adik-adiknya menjadi lebih dekat lagi dengan sosok ayah, dan tentu dengan ibunya. Ratna mengemas karya fotonya dengan apik dalam bentuk sebuah buku harian besar yang dia rancang sendiri.
Hampir sama dengan Ratna, karya Dodik juga menceritakan tentang dirinya dalam keluarganya. Dodik bercerita tentang ke-lupa-an, tentang hal-hal yang tanpa dia sadari telah terlewatkan begitu saja hingga umurnya beranjak dewasa. Dia mencoba merekontruksi album foto masa kecilnya yang ditemukan di rak kamarnya, lalu diterjemahkan melalui foto-foto yang dia ambil di masa sekarang. Dengan jeli dia mengambil bagian-bagian cerita masa lalunya, lalu ditata ulang membentuk mozaik-mozaik peristiwa yang amat momentum bagi dia. Dengan menggunakan teknik kolase, karyanya didisplay tidak beraturan pada sebuah papan abu-abu. Banyaknya hal-hal terlupakan yang disampaikan pada foto-foto pilihannya tersebut sebenarnya justru menujukkan bahwa dirinya sedang dalam titik ingat yang cukup detail. Mungkin karya ini selanjutnya menjadi sebuah titik balik dari perjalanan hidupnya mencari identitas.
Fotografi sebagai media komunikasi visual terkadang memang mampu membuat kita bercermin dan membentuk kesadaran tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Fotografi sebagai cara untuk melihat, menggambarkan masa lalu dan sepenggal sejarah yang tidak hanya ketika foto diambil tetapi juga saat foto itu dilihat di waktu yang berbeda. Seperti hal sederhana yang diceritakan oleh Anton Aryadi dalam karyanya berjudul “Odah”. Setiap hari, odah atau nenek Anton menghaturkan makanan dan secangkir kopi di depan sebuah foto almarhum suaminya di salah satu meja di rumahnya. Meski foto itu sudah terlihat usang, namun mempunyai nilai kenangan yang amat berarti bagi odah. Beliau merasa suaminya masih ada di rumah itu. Foto itu menjadi perantara komunikasi secara tak langsung. Menghaturkan makanan dan secangkir kopi itu merupakan representasi dari kebiasaan makan bersama saat suaminya masih hidup. Cerita odah pada karya Anton ini mewakili cerita-cerita yang sebenarnya banyak terjadi di lingkungan kita, sebuah cerita tradisi yang mungkin bakal hilang dimakan zaman. Karya Anton ini selanjutnya menjadi dokumentasi kebudayaan yang bisa kita kaji bersama di kemudian hari.
Berbicara tentang dokumentasi, kita juga perlu mengkaji karya Tria Nin yang berjudul “Kotak Memori.” Tria mengajak kita bermain-main dengan waktu, membaca pada benda-benda yang dia kumpulkan sepanjang hidupnya. Pada karyanya, dia menghadirkan kotak memorinya lengkap dengan isinya, sebanyak 21 buah benda yang penuh dengan kenangan berbagai peristiwa dan momen. Yang menarik, benda-benda tersebut ditampilkan bukan dalam wujud aslinya, melainkan dengan medium 2 dimensi, yaitu fotografi. Foto benda-benda itu dimasukkan dalam amplop, sehingga seperti tampak bernilai dan personal sekaligus sebagai batasan momen dengan (foto) benda-benda lainnya. Fotografi sendiri adalah alat untuk merekam kenangan, menjadi menarik ketika Tria memilihnya sebagai representasi dari benda-benda yang sengaja dia simpan karena kenangan dan memori dalam perjalanan hidupnya.
Karya-karya dari 7 orang angkatan 1 Kelas #SayaBercerita dalam pameran foto UNSPOKEN ini berikutnya menjadi arsip visual kita bersama, menjadi literasi baru untuk kita diskusikan. Dalam perwujudannya, karya-karya ini mungkin tampak berbeda dengan foto bercerita pada umumnya. Bagaimanapun juga fotografi hanyalah salah satu medium untuk menyampaikan idea tau gagasan. Selamat membaca.. 

Denpasar, 11 Maret 2017
Syafiudin Vifick | mentor kelas #SayaBercerita

Radio Bapak

Setiap pagi ketika alunan musik itu terdengar, saya sudah bisa menebak bahwa itu bapak. Suara
fales yang dinyalakan dengan volume keras, membuat mata saya terbuka. Bukan untuk bangun
dan menyambut pagi, namun untuk menghela napas panjang dan bertanya pada udara, bapak
sedang kemana?

Situasi ini menjadi biasa karena saban hari selalu terjadi, namun saya dan ibu tentu punya cara
pandang yang berbeda. Ibu tetap pada kewajibannya di dapur, memasak nasi dan mempersiapkan
lauk, sedangkan saya berbaring di tempat tidur terjaga oleh suara radio.

Khawatir dan cemas menyemangati agar mata tetap terjaga, tapi lama-lama menjatuhkan. Saya
cemas pada bapak yang berpindah-pindah dengan cepat. Saya khawatir orang-orang sekitar
terganggu oleh suara radio. Karena pagi itu amat buta, bahkan ayam pun belum terbangun.
Sedangkan suara radio sudah terdengar begitu kencang di gang kecil, di belakang rumah.
Seperti langkah kaki Bapak, suara radio datang dan pergi begitu saja.

Bapak jarang terlihat menghentikan langkahnya, meski terik matahari siang seolah membakar
kulit. Istirahat hanya ketika lapar, itupun jika ia ingat untuk mengisi perut. Ia berjalan dari rumah
ke rumah, berkunjung ke tetangga dekat, ataupun ke tetangga jauh. Sekedar menanyakan kabar
, mengobrol atau hanya mencari tempat teduh. Jika Ia melihat ada rumput tumbuh dengan liar,
Bapak bergegas membersihkan. Selain ditemani oleh radio, saya pernah bersamanya beberapa
kali saat liburan sekolah, waktu itu saya masih duduk di sekolah dasar.

Kala malam tiba, saat orang-orang beranjak beristirahat, Bapak tak bisa memejamkan mata
seperti kebanyakan orang. Ia tetap berkeinginan keluar rumah, berjalan entah kemana. Perintah
yang Ia dengar membuat kedua kakinya melawan setiap rasa kantuk yang datang. Entah suara
siapa dan darimana, ia tidak tahu namun suara itu benar nyata, setidaknya bagi Bapak. Ia berjalan
dan berjalan, tidak mengenal lelah dan tanpa rasa takut. Bersama radio, saat tengah malam dia
duduk di depan rumah, memandangi jalanan. Kadang termenung atau berbicara sendiri di kebun
belakang rumah, di bawah pohon bambu. Atau Bapak pergi entah kemana, sampai saya dan Ibu
tidak tahu keberadaannya.

Itu merupakan sepenggal cerita dari berbagai kisah saya bersama Bapak dan radionya. Cerita
yang membuat Bapak pernah beberapa kali menginap di Rumah Sakit Jiwa. Cerita yang
mengharuskannya mengkonsumsi obat dari dokter tanpa putus. Dan cerita yang membuat saya
belajar tentang kepercayaan diri.

Mulai serius menekuni fotografi sejak pertengahan
tahun 2016, bermula dari keikutsertaannya dalam
workshop dan pameran foto esai tentang “Air dan
Kehidupan”. Pernah bekerja di Mitra Bali Fair Trade,
lembaga yang aktif mengkampanyekan praktek
perdagangan adil. Saat ini waktunya lebih banyak
untuk memotret, sebagai fotografer lepas dan
pengerjaan project-project personal. Tertarik dengan
isu-isu kemanusiaan, lingkungan dan budaya. Selain
sebagai karya seni, baginya foto merupakan salah
satu cara mengekspresikan sudut pandangnya
terhadap realita dan permasalahan yang ada di
masyarakat.

@martinowayan

Kotak Memori

Dari tanah halaman rumah, saya selalu teringat kenangan tentang peristiwa-peristiwa yang hadir
dalam hidup. Tentang sunyi, tentang duduk yang tenang, tentang tertawa, tentang aroma melati,
hingga daun kemunir yang memberikan penanda kekuatan bahagia dan sadar dalam duka.
Diam-diam menjumput tanah di halaman rumah, dan menyimpannya dalam kantong merah. Selalu
tenang menjaga energi rumah dalam genggaman tangan kemanapun saya menginjakan kaki.
Pada satu sore yang tenang setelah perayaan Galungan di Bali, saya duduk santai di depan
kantor, teman saya Emy, membuang setumpuk sampah dan satu kotak kosong bertanda Monde.
Lima tahun yang lalu, saya memungut kotak biskuit itu dari tempat sampah. Dalam tenang, kotak
bersemayam menjadi rumah bagi kantong kain warna merah berisi tanah yang saya bawa dari
rumah.

Kenangan masa lalu memang tidak selalu indah, tapi dengan menyimpannya dalam sebuah
tempat, saya memberikan kehormatan pada kenangan untuk bisa memiliki ruang yang abadi.
Kotak memori menjaga kenangan saya, saya menyimpan ingatan dalam kotak, tentang kartu pos,
tiket menonton film, nota-nota belanja, tiket menonton teater, daftar lagu band saat konser,
cenderamata, permainan bekelan, rautan hingga bunga kering yang kutemukan di jalan.
Pernak-pernik ini adalah pengingat hari-hari bahagia bahkan cerita duka. Kotak tentang mimpi,
kotak kenangan setiap hari, kotak senyum kecil, kotak cinta berlimpah, kotak luka bernanah yang
menjadi penanda zaman hidupku. saya mengisinya dengan energi yang berbeda, waktu yang
berbeda dan tempat yang berbeda. Aroma bunga kering yang samar, aroma kertas, aroma jam
tangan mati hingga aroma debu melahap memori sepanjang waktu. Lebih dari kotak, seperti
seorang pendongeng, penjaga memori, atau puisi yang meninggalkan ruang untuk interpretasi.
Selamat menikmati hidangan Monde, biskuit aneka rasa yang memberikan sensasi pada setiap
gigitan.

Tria Nin, bekerja sebagai penulis lepas, penyulih suara
dan project manager yang berdomisili di Bali.
Tulisannya dapat dibaca di buku “ We Indonesians
Rule” (2014) dan Festival Fiksi Kompasiana (2011).
Berpengalaman lebih dari 10 tahun di media, ia belajar
Broadcasting di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tria tertarik dengan proyek kreatif kombinasi berbagai
latar belakang akademisi dan seni, ia mengumpulkan
romantisme di alam yang terlupakan, serta puisi,
musik, film dan hal-hal kecil dalam kehidupan
sehari-hari.

@mimpi.kiri

Odah

Saya Anton Aryadi, saya ingin bercerita tentang nenek saya. Saya memanggil beliau ‘odah’, yang
berarti nenek. Beliau adalah ibu dari ayah saya. Kini usianya sudah 70 tahun lebih. Saya belajar
banyak hal kepada beliau, terutama tentang hidup.

Setiap pagi, beliau selalu ke pasar untuk belanja keperluan sehari-hari dan sarana upacara. Dulu
beliau seorang pedagang, namun karena usia, dia tidak lagi berdagang. Dulu kalau sedang
berdagang di pasar, beliau sering pulang sampai malam. Namun setelah dokter memvonis beliau
terdiagnosa Glukoma yang menyerang mata kanan dan kirinya, sehingga tidak bisa lagi melihat
dengan jelas, beliau tidak berdagang lagi. Selain memasak, kini kesehariannya diisi dengan
membuat sarana upacara dan sembahyang. Tangan beliau masih terampil membuat sarana
upacara tersebut.

Usia yang tak lagi muda, tidak mengurangi semangatnya untuk terus beraktifitas. Beliau
melakukan ini semua demi kakek (suaminya) yang sudah meninggal. Odah selalu merasa bahwa
kakek masih ada di rumah. Setiap hari, beliau masih menghaturkan makanan untuk almarhum
kakek di depan sebuah foto yang sudah usang, di salah satu meja di rumah. Foto portrait itu
menjadi sarana berkomunikasi untuk menghaturkan makanan kepada kakek. Apa yang odah
makan tiap hari, itu yang dihaturkan. Kalau pagi ditambah dengan secangkir kopi. Kebiasaan yang
beliau lakukan dari dulu, saat almarhum kakek masih hidup, hingga sekarang. Banyak cerita
kenangan dibalik foto portrait itu, kata odah.

Dari odah, saya belajar tentang semangat yang tak pernah padam dalam menjalani hidup. Dari
odah, saya belajar tentang bagaimana kesetiaan dalam mencintai pasangan dan keluarga. Dari
odah, saya belajar bahwa hidup ini akan selalu berjalan indah ketika kita bisa memaknai dan
menjalani dengan penuh ketulusan dan kasih. Cerita tentang odah ini akan terus saya sampaikan
kepada anak-anak saya kelak, agar mereka juga belajar dari kehidupan odah.
Terima kasih Oda..

I Gede Anton Aryadi, Saat ini menjadi salah satu editor
sosial media dan juru foto makanan di sebuah kantor
yang bergerak di bidang restaurant. Anak pertama dari
empat bersaudara, tertarik dengan hobi fotografi
sejak lulus dari smp, mendalami street photography
mulai dari 1 tahun lalu, menurutnya dengan berada di
jalanan mampu membuatnya merasa lebih bebas
dalam berekpresi tanpa batas.
@antonaryadi

Lupa

aya Dodik Cahyendra..
Saya ingin bercerita tentang ke-lupa-an, tentang hal-hal yang tanpa saya sadari telah terlewatkan
begitu saja hingga sekarang, masa dimana saya sedang senang-senangnya mencoba banyak hal
baru. “Cari tahu apa yang ingin kamu lakukan, atau hal yang kamu tekuni akan sia-sia.” Bagi saya
yang seringkali dicap kurang kreatif oleh keluarga sendiri, kalimat tersebut merupakan sebuah
tantangan sekaligus motivasi yang besar dalam menjalani hari.

Beberapa waktu lalu, saya menemukan album foto berwarna merah usang, terjepit diantara
buku-buku lama di rak lemari kamar saya. Kemudian saya membuka lembar demi lembar album
foto itu, menikmati setiap memori yang tergambar pada foto-fotonya. Banyak momen-momen
yang terekam, peristiwa-peristiwa di masa lampau , saat piknik bersama keluarga, foto masa kecil
bersama kakak, odalan dan lain-lain. Semua membangkitkan kenangan perjalanan panjang hingga
usia saya 23 tahun sekarang.

Saya lupa, mereka tersenyum bahagia ketika memeluk saya. Saya pikir saya ini orang yang tidak
berguna.

Saya lupa, Wi De, kakak saya ternyata dulu menjaga adiknya ini.

Saya lupa, Emek ternyata senang saat saya ada di dekatnya. Seperti Pilo yang selalu mengajaknya
bermain. Pilow yang selalu mendekatinya meskipun juga di cap Belog (bodoh).

Saya lupa, Bapak selalu mengajari saya untuk mandiri, mengajari kalau berkarya harus pakai hati.
Darah seniman mengalir di tubuh ini, ternyata saya suka menggambar. Memang suka
memperhatikan hal-hal kecil. Kenapa saya berhenti melakukanya?

Saya lupa, dulu ingin seperti mereka. Wi De yang bisa membuat apa saja, Emek yang pintar
memasak, Bapak yang mandiri, selalu menolong orang lain.

Saya lupa, banyak sekali ide yang belum terwujud, banyak desain yang belum digambar, banyak
foto yang belum diambil.

Saya lupa, dulu sering mencari memori yang hilang di berbagai tempat, gunung, pantai, sawah,
pancoran, bukit, hingga perkotaan.

Saya lupa umur sudah 23tahun, saya harus mulai menekuni yang saya suka lagi, karena hidup
terus berjalan dan mengalir begitu saja..

Saya lupa,..

bersaudara. Mahasiswa Desain Komunikasi Visual,
freelance desainer grafis, penikmat dan penghobi
fotografi dari Desa Sayan, Ubud. Saya selalu tertarik
dengan hal kecil yang berdampak besar khususnya
untuk lingkungan dan perkembangan manusia. Jika
sebuah foto adalah kenangan, seharusnya foto juga
adalah sebuah refleksi bagi orang yang terkait
denganya.
@dodcah

Ikan Cupang

Nama saya Nyoman Arya Suartawan, seorang broadcaster di TVRI. Saya ingin bercerita tentang
ikan cupang, ikan-ikan yang menemani keseharian saya dalam menemukan titik ketenangan.
Sehari-hari saya menghabiskan waktu untuk bertugas di master control dan di camera control
unit. Banyaknya tugas dan tingginya intensitas kerja, membuat saya sering pulang malam. Ketika
jenuh dengan pekerjaan, saya mencoba menekuni berbagai hobby, salah satunya fotografi.
Kemudian saya juga suka memelihara hewan, seperti anjing dan hewan lainnya.

Suatu hari, entah kenapa saya tertarik dengan ikan cupang hias. Awalnya mencoba memelihara 1
ekor, di akuarium kecil yang saya letakkan di ruang tengah rumah saya. Karena merasa cocok,
akhirnya saya mencoba memelihara beberapa ekor, bahkan pernah sampai 70 ekor lebih. Saya
mencoba menggali lebih jauh tentang ikan cupang hias ini, saya searching di Google untuk
mencari jenis dan distributor ikan cupang hias dari berbagai daerah. Saya mempelajari semua
detail ikan cupang ini, sampai menemukan komunitas pecinta ikan cupang hias.

Keluargapun mendukung, Istri dan anak saya bahkan sering ikut membantu memberi makan,
membersihkan aquarium, dan merawat ikan-ikan cupang saya. Kami bahkan sudah menganggap
ikan-ikan cupang ini sebagai bagian dari keluarga kami. Kami merawat ikan-ikan cupang dengan
sepenuh hati. Air aquarium kami ganti setiap 3 hari sekali, karena kebersihan aquarium sangat
mempengaruhi kualitas dari pada ikan cupang tersebut. Cuaca yang berubah-ubah bisa
mengakibatkan ikan cupang mengalami sakit, sehingga perlu perawatan khusus dengan memberi
garam ikan pada saat mengganti airnya, serta daun ketapang kering untuk di airnya agar daya
tahan tubuh ikan kuat. Ketika ikan sudah tidak kuat lagi dan mati, saya menguburnya di halaman
rumah, karena saya tidak mau membuangnya begitu saja.

Setiap hari, sepulang dari kantor, saya selalu meluangkan waktu sejenak untuk merefresh fikiran
saya dengan melihat dan memperhatikan ikan-ikan cupang hias saya, menikmati liukan tubuhnya
yang lincah dan indah sekali. Di waktu luang, saya mencoba mempadukan dengan hoby fotografi.
Saya bereksperimen untuk menghasilkan foto ikan cupang yang bagus. Berbagai teknik dan
lightingpun telah saya coba. Sampai ada teman-teman dari daerah lain yang ingin belajar kepada
saya tentang bagaimana membuat foto ikan cupang yang bagus. Sempat terbesit cita-cita, kelak
saya ingin membuat buku fotografi ikan cupang, sehingga karya saya bisa dinikmati oleh lebih
banyak orang.

Lahir di Singaraja dan sekarang tinggal di Denpasar.
Pernah mengikuti beberapa pameran Foto di Belgia, di
Kementerian Pariwisata Indonesia, di Green School
Internasional. Mewakili Negara Indonesia di ASEAN
Dalam Kompetisi Branding Pariwisata Indonesia
Aseanta Award for Exellence 2016. Bekerja sebagai
brodcaster dari 2010 samapai sekarang. Aktif menulis
artikel di majalah tentang photography.Motret
Pemandangan Alam, New Born, dan Macro.
@nyoman_arya_suartawan

Jalan Pulang

Pulang memiliki berbagai makna, pulang ke rumah atau pulang ke rumah abadi.
Saya selalu melewati jalan untuk yang kedua untuk menuju rumah, untuk pulang
yang pertama. Selama bertahun-tahun tinggal di daerah ini, pemandangan Setra
Agung (Kuburan) Badung mungkin seharusnya menjadi hal yang biasa. Padahal, sesungguhnya
tidaklah biasa. Bagaimana mungkin, sebuah setra yang besar berada di
tengah kota?

Sebagai perempuan Bali yang menghabiskan masa anak-anak di luar pulau, pada
mulanya saya tidak begitu akrab dengan keriuhan tersendiri yang diciptakan kompleks
pemakaman ini. Seandainya sejak awal, mungkin saya akan bersekolah di
Sekolah Dasar yang terletak di tengah Setra. Warung peninggalan dadong (nenek
dari ayah) yang kini dikelola uwa (kakak ipar ayah) saya pun berada di sebelah Setra,
diapit dengan Banjar bernama Celagigendong. Saya tidak pernah tahu kemana
semesta akan mendukung, apakah saya akan menggunakan Setra Badung sebagai
jalan pulang? Atau ada jalan yang lain untuk saya pulang?

Kedekatan saya dengan Setra adalah kedekatan ruang dan kedekatan personal.
Bagi sebagian, ini hanyalah tempat yang biasa mereka lintasi dalam beraktivitas,
yang sesekali menghentikan perjalanan mereka karena ada iringan ‘perayaan’ bernama
Ngaben. Bagi saya, Setra ini telah ada jauh sebelum ada jalan beraspal di tengahnya,
jauh sebelum Bali menjadi tujuan wisata, juga sebelum Indonesia merdeka,
maupun Denpasar dipaksa menjadi sebuah kota.

Berkunjung ke Setra Badung barang sebentar setiap sore di perjalanan pulang,
membuat saya merasa terhubung dengan lingkungan terdekat. Lingkungan yang
sering kita matikan. Hanya karena kita merasa kematian itu masih jauh. Nyatanya?
Kematian dan kehidupan itu bersisian, tengoklah Setra Badung untuk merasakannya.
Merasakan jalan pulang.

Bukan fotografer melainkan pencerita. Ada di sini
karena saya bercerita. Memiliki ketertarikan khusus
untuk berbagi hal-hal yang bermanfaat tanpa tendensi
menjadi inspirasi. Anda bisa menemui saya di Akademi
Berbagi Bali dan Bumi Setara, atau mungkin di
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana sebagai
pejuang tesis. Salam, Ni Putu Candra Dewi.
@candramertha

23 Tahun

Nama saya Ratna. Usia saya sekarang 24 tahun. Saya ingin bercerita tentang keluarga saya.
Setahun yang lalu, pertama kalinya kami mempunyai foto keluarga. Foto yang sangat berharga
bagi saya. Keluarga saya ada 5 orang, bapak, ibu, saya dan 2 adik perempuan. Tentu saja bapak
satu-satunya yang paling tampan di keluarga saya. Karena satu-satunya inilah mungkin
terkadang bapak merasa kami (ibu, saya dan adik-adik) mengesampingkan dia, tetapi tidak.
Kadang kasihan juga melihat bapak yang tidak bisa berbagi dengan anak-anaknya, tidak seperti
ibu. Ibu selalu meminta saran ketika akan pergi ke pura atau pergi ke undangan, bagusnya
memakai baju yang mana, sandal yang mana dan lain-lain. Tetapi bapak, tidak bisa. Mungkin
bapak ingin juga melakukan hal yang seperti ibu lakukan, tetapi entah bapak mengira
anak-anaknya tidak akan mengerti dengan selera karena semuanya perempuan atau mungkin
ada sedikit rasa gengsi. Mulai dari hal-hal kecil inilah yang akhirnya membuat bapak memiliki
jarak dengan saya dan adik-adik. Mulai dari jarang berkomunikasi, jarang bertegur sapa, dan
sekalinya berniat membuat candaan terkadang responnya tidak sesuai harapan.

Ketika saya dan adik kedua sudah mulai memasuki pendidikan di universitas, kami jarang ada di
rumah. Pulang hanya saat akhir pekan saja. Terkadang kalau pulang, saya dengan bapak tidak
bicara bukan karena ada masalah, melainkan itu sudah menjadi kebiasaan. Jika bapak ingin tahu
tentang bagaimana pendidikan saya dengan adik-adik, selalu lewat perantara ibu. Lucu memang,
entah apa yang membuat bapak seperti itu. Saya dan adik-adik tahu betul bagaimana sifat bapak,
tetapi dari kami pun tidak ada yang ingin memulai untuk hanya sekedar mengobrol seperti
lazimnya bapak dengan anak perempuannya. Memang sejak kecil saya jarang sekali
berkomunikasi dengan bapak. Sekalinya berkomunikasi, malah berujung cekcok atau
pertengkaran. Kami memiliki komunikasi yang tidak begitu bagus. Terlalu mempertahankan ego
masing-masing. Bapak tidak boleh salah, anak-anak selalu harus mengalah dan ibu selalu
berusaha menjadi penengah.

23 tahun sudah berlalu. Mulai ada titik terang dari kebiasaan ‘buruk’ itu. Saya akui kemajuan
media sosial sangat berperan dalam hal ini. Mulai dari saya dan adik-adik yang sering
berkomunikasi lewat media sosial. Konsultasi, menceritakan sesuatu yang terjadi di rumah,
menceritakan bagaimana lucunya tingkah ibu dan bapak yang sering saling berbalas komentar di
facebook. Dari sini, akhirnya kami bertiga menyadari, ternyata tidak ada salahnya untuk
mengalah sekali-sekali dengan bapak. Intinya karena bapak ingin dimengerti. Saya dan adik-adik
memulainya dari hal-hal kecil, salah satunya selalu ingat merayakan hari-hari penting seperti
ulang tahun salah satu dari kita berlima atau sekedar mengirim pesan singkat kepada bapak. Dan
setelah 23 tahun juga, akhirnya kami memiliki foto keluarga lengkap berlima, tanpa disengaja.

nama saya ratnayanti sukma. lahir di denpasar, 22 mei
1993. sekarang hampir berusia 24 tahun. pekerjaan
tetap sebagai pengajar bahasa jepang. hobi tidak
menentu, bisa berubah2 sesuai mood. sangat suka
pantai, sangat mengidolakan matahari terbenam.
mari berkawan (ig) @ratnayantisukma
@ratnayantisukma

Dokumentasi oleh Wirasathya_pameran foto Unspoken_ at Uma Seminyak (02) Dokumentasi oleh Wirasathya_pameran foto Unspoken_ at Uma Seminyak (04) Dokumentasi oleh Wirasathya_pameran foto Unspoken_ at Uma Seminyak (05) Dokumentasi oleh Wirasathya_pameran foto Unspoken_ at Uma Seminyak (06) Dokumentasi oleh Wirasathya_pameran foto Unspoken_ at Uma Seminyak (07) Dokumentasi oleh Wirasathya_pameran foto Unspoken_ at Uma Seminyak (08) Dokumentasi oleh Wirasathya_pameran foto Unspoken_ at Uma Seminyak (09) Dokumentasi oleh Wirasathya_pameran foto Unspoken_ at Uma Seminyak (10)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *