LIPUTAN : KDM #8

img_6895

Klub DIY Menonton #8

Pembukaan
Program pemutaran dan diskusi film, Klub DIY Menonton (KDM), telah memasuki pemutaran sesi kedelapan. Pada Jumat, 16 September 2016, KDM #8 hadir bersama ReelOzInd!.
ReelOzInd! merupakan sebuah festival film pendek yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman di antara warga Australia dan Indonesia. Dengan judul “Exchange”, program pemutaran KDM ke-8 ini menyuguhkan 14 film, 11 film pilihan ReelOzInd! dan tiga film pilihan KDM. “Exchange atau pertukaran, mengonteks pada bagaimana film (pendek) bisa menjadi medium yang sangat mengasyikkan,” tulis koordinator program, Suluh Pamuji, dalam pengantarnya.
Didukung Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, program pemutaran KDM ini digelar di Aula Dinas Kebudayaan DIY dan dimulai pada pukul 18.30 WIB. Sebelum open gate, para penonton mengantre untuk melakukan registrasi di frontdesk. Registrasi berjalan lancar. Dengan tertib, para penonton senantiasa menunggu pintu ruangan dibuka, sembari mengobrol. Pukul 18.30 WIB, pintu Aula Dinas Kebudayaan pun dibuka. Penonton dipersilakan masuk.
Adi, selaku MC, membuka acara dengan sapaan hangat dan sedikit perkenalan tentang Klub DIY Menonton. Ia mempersilakan Suluh Pamuji, selaku moderator sekaligus koordinator program, untuk menjelaskan lebih lanjut tentang KDM. Suluh mengatakan, bahwa ini bukan kali pertama KDM bekerja sama dengan festival film internasional. Sebelum ini, International Changing Perspectives Short Film Festival pernah hadir bersama KDM dalam program pemutaran ke-6 dan ke-7. “Kerja sama tersebut akan berlanjut dalam KDM #9 mendatang,” tambahnya.

81 Menit Pemutaran
Program pemutaran dan diskusi film KDM kali ini terbagi atas dua slot. Sebelas film pilihan ReelOzInd! akan diputar di slot pertama dan tiga film pilihan KDM di slot kedua.
Lampu ruangan dimatikan, pertanda film akan diputar. Heaven of Children (2016) arahan Amir Masoud Soheili, mengawali slot 1. Film pertama pilihan ReelOzInd! ini bercerita tentang sepasang bocah lelaki dan perempuan menjelajahi bioskop yang sudah tidak beroperasi. Mereka menemukan gulungan film yang akhirnya mereka tonton. Namun, mereka diusir oleh penjaga bioskop, sebelum film usai. Mereka coba menebak akhir film tersebut. Tepuk tangan penonton riuh, seiring dengan film ini berakhir.
Film kedua adalah animasi berjudul Rain n Neighbour (2016) arahan Ganapati Wraspatiasal. Film berdurasi 4 menit ini bercerita tentang dua tetangga yang hidup damai di sebuah desa kecil. Rumah Poo besar dan bagus. Berbeda dengan rumah Pii yang sangat sederhana dan atapnya sudah bocor. Meski keduanya memiliki kondisi yang berbeda, Poo selalu menerima Pii di saat hujan turun. Sampai akhir film ini, penonton masih terus berdatangan. Bahkan, mereka rela duduk di tangga panggung ruangan, karena semua kursi sudah penuh terisi.
Dilanjutkan dengan Finding Home (2015), arahan Radheya Jegatheva asal Australia. Adalah animasi tentang sebuah objek yang kesepian, mulai mencari keluarga dan rumahnya. Ia berjalan melewati berbagai medan, hingga bertemu sesamanya di sepanjang perjalanan, kemudian ikut bergabung dalam pencariannya.
Finding Home berakhir dan tanpa jeda, Chasing Dangdut (2016) arahan Gisela Levy menyambut. Selama 10 menit, film asal Indonesia ini berlangsung. Gelak tawa penonton meramaikan ruangan. Icha, seorang pembantu rumah tangga yang sangat jatuh cinta pada penyanyi dangdut terkenal, bernama: Jay. Suatu hari, Icha memenangkan kuis radio untuk bertemu Jay. Namun, kebahagiaannya tak berlangsung lama. Majikannya tak mengizinkan Icha pergi.
Selanjutnya adalah The Crowded Bridge (2016), arahan David Darmadi. Tanpa dialog, dokumenter berdurasi 9 menit asal Indonesia ini bercerita tentang aktivitas sehari-hari yang selalu berulang, berjalan damai tanpa saling bersinggungan satu sama lain di Jembatan Gunung Sago, Lambung Bukit, Kecamatan Pauh, Padang Sumatera Barat, Indonesia.
The Eagles’ Eyes (2016) arahan Wisnu Dewa Broto, kembali memecah tawa penonton. Film asal Indonesia ini berdurasi 10 menit. Pembangunan yang tidak merata dan hanya terpusat di kota-kota, memaksa Melky dan rekannya mengadu nasib ke Jakarta, kota yang asing bagi mereka. Stereotip masyarakat tentang orang Indonesia Timur pun menjadi struktur kerja baru. Dengan pilihan terbatas, Melky menjadi bagian dari minoritas.
Animasi berjudul Dog and Robot (2016) arahan Blair Harris pun diputar. Selama 7 menit, film asal Australia ini bercerita tentang seekor anjing dan robot pembersih yang ditinggal di rumah, setiap hari, saat pemiliknya pergi bekerja. Alur animasi ini menarik dan membuat penonton tersentuh.
Film selanjutnya adalah Behind the Mask (2016) arahan Johan Ramandias. Film ini berdurasi 10 menit dan berasal dari Australia-Indonesia. Ari, penari topeng dari Indonesia, baru saja tiba di Australia untuk belajar. Ia mengalami geger budaya. Kini ia berjuang mengatasi depresi dan kesepian. Ia mengira keadaannya akan beda jika dia bisa mendapatkan topengnya kembali.
Pemutaran dilanjutkan dengan Miner’s Walk: Supeno (2016) arahan Josephine Lie. Film dokumenter asal Indonesia-Australia ini bercerita tentang Supeno, generasi ketiga pekerja tambang belerang di Kawah Ijen, Indonesia. Namun, Supeno tak ingin mewariskan tradisi keluarganya ini kepada anak-cucunya.
Film kesepuluh adalah Kane (2016) arahan Sarah Christie. Fiksi berdurasi 12 menit ini bercerita tatkala dua pria muda bersaudara pindah ke pedalaman Australia. Keduanya pun dipaksa menghadapi sisi gelap hubungan mereka.
Slot pertama pun ditutup dengan Amelis (2016) arahan Dery Prananda. Fiksi berdurasi 6 menit ini membuat penonton sedih. Film asal Indonesia ini menceritakan tentang seorang pria muda yang ingin membawa jenazah ayahnya ke kampung halaman mereka. Perjalanan yang menghadirkan respon tak terduga dari orang lain.

Dikusi Slot 1
Lampu ruangan dinyalakan, pertanda sesi diskusi akan segera berlangsung. Kali ini diramaikan oleh Novi Kurnia (Juri ReelOzInd!, Dosen Ilmu Komunikasi UGM), Dery Prananda (Sutradara Amelis), dan Niken Pamikatsih (Produser Miner’s Walk: Supeno) serta dipandu oleh moderator Suluh Pamuji.
Selaku MC, Adi mengingatkan penonton untuk tidak pulang dulu, karena masih ada slot kedua. Suluh Pamuji, selaku moderator, membuka sesi diskusi dengan terlebih dahulu memperkenalkan pembicara. Suluh pun mempersilahkan Novi Kurnia untuk bercerita tentang sistem penjurian ReelOzInd!.
Novi menceritakan, bahwa pemenang ReelOzInd! tak hanya 11 film, tapi 18 film berdurasi satu sampai 11 menit. Ia menambahkan, “Ini adalah kali pertama ReelOzInd! diadakan. Dan tahun depan, pihak ReelOzInd! berencana untuk mengadakan festival film lagi.” Novi pun mengajak penonton untuk mendaftarkan film mereka ke ReelOzInd! tahun depan.
“Neighbour” adalah tema besar ReelOzInd! pertama ini. “Indonesia dan Australia berdekatan, namun tak mengenal satu sama lain,” kata Novi. Sebelas film pilihan untuk diputar dalam KDM kali ini mewakili cerita tentang Indonesia dan Australia, dengan taste yang bervariasi, seperti sendu, thriller, ceria, dan sedih.
Novi mengakui bahwa “neighbour” dalam konteks “relasi” tampak eksplisit dalam 11 film pilihan ReelOzInd!. Relasi dalam Behind The Mask antara mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Australia, relasi dalam Dog And Robot. “Animasi agak kaku, tapi sederhana dan sangat menarik. Persahabatan bisa datang dari benda dan makhluk berbeda,” tutur Novi. Ia pun mengatakan, bahwa “neighbour” dapat diartikan pula sebagai “tempat”. Seperti rumah sakit dalam Amelis dan bioskop dalam Heaven Of Children.
Selain itu, Novi melanjutkan, bahwa “neighbour” pun dapat berarti manusia di sekitar kita, seperti bapak dalam Amelis dan fandom dalam Chasing Dangdut. Novi mengatakan, bahwa tujuan ReelOzInd adalah “Membuat sesuatu yang jauh menjadi dekat, membuat sesuatu yang berborder menjadi dekat”. Menurut Novi, film paling relevan adalah Finding Home.
Novi pun bercerita tentang pengalaman menarik selama menjadi juri ReelOzInd!. “Semua proses penjurian dan menontonnya juga, semua online. Hubungan saya dengan mbak Jemma Purdey dari tahun kemarin, dari ketika menginisiasi program ini, semua lewat e-mail dan Facebook,” kata Novi. “Cara saya melakukan penjurian pun juga diberi link-link, kemudian saya berikan nilai, saya berikan komentar. Kemudian digabungkan dengan juri yang lain,” lanjutnya.
ReelOzInd! melibatkan enam juri, dua adalah filmmaker asal Indonesia, Mira Lesmana dan Riri Riza, satu akademisi dari Australia, Krishna Sen. Keberagaman juri tersebut diharapkan dapat menyatukan berbagai perspektif. Penjurian dilakukan secara virtual, Novi dan juri lain tak pernah bertemu dalam rapat. Namun, bagi Novi, meskipun tak pernah bertatap muka, ia menemukan home di ReelOzInd!.
Kini giliran Dery bercerita tentang bagaimana ia tertarik mengajukan filmnya ke ReelOzInd!. Ia mengaku bahwa Amelis adalah tugas kuliah, mahasiswa ditantang untuk membuat film tanpa dialog. Ia sendiri mengaku belum lama mengetahui ReelOzInd!, bahkan setelah filmnya jadi. Awalnya ia iseng mencoba, tapi kemudian dikabarkan bahwa filmnya menang, ia pun sontak terkejut.
Sedangkan Niken, sebagai produser pun baru saja mengetahui ReelOzInd! Beberapa waktu kemudian, ia mendapat kabar dari sang sutradara, bahwa film mereka menang. Proses kolaborasi dengan Jo terjadi sejak tahun lalu, ketika Niken bertemu Jo di Jogja dan mereka memutuskan untuk membuat proyek. Jo pernah membuat proyek tentang Merapi dan mereka berencana untuk membuat proyek serupa. Penambang di Kawah Ijen adalah salah satu ide bagus untuk dijadikan film.
Pertanyaan pertama dari penonton tentang Miner’s Walk: Supeno, terkait lokasi dan durasi. Sedangkan untuk Amelis, terkait judul itu sendiri. Niken menjawab, bahwa dokumenter ini berseri, lima atau tujuh, semua diunggah ke Vimeo. Niken pun menawarkan kontak untuk berdiskusi. Ia bercerita bagaimana kru mewawancarai tiga penambang. Mereka bahkan menggagas pembuatan alat untuk ditempel di badan penambang, terbuat dari pralon dan stagen. Niken dan kru pun mewawancarai para penambang terkait proses pertambangan.
Tentang judul Amelis, Dery mengatakan bahwa pembuatan fiksi ini cenderung rileks, termasuk judul. Awalnya Amelis berjudul Abai, namun kemudian diganti dengan bahasa Yunani dari kata “abai” karena terdengar cantik. Jadilah judul fiksi Amelis.
Terkait pemilihan tokoh utama bernuansa Indonesia Timur, Dery mengaku bahwa fiksi ini terinspirasi dari seorang teman asal Indonesia Timur dengan pengalaman tentang ojek jenazah, karena harga sewa mobil mahal dan risiko pun besar. Namun, untuk setting film, Dery mengaku tak mencoba untuk membuat lokasi tampak seperti daerah tertentu.
Penonton lain mempertanyakan teman tokoh utama dalam Kane. Novi pun menjawab, bahwa keluarga Kane pindah untuk mengatasi masalah psikologis sang anak akan kematian sang adik. Namun, si ibu justru hamil lagi. Film ini sengaja meninggalkan misteri, akankah Kane mampu mengurus adik baru setelah kematian adiknya? “Substansi sangat kuat, pilihan gambar dan pemandangan landscape rural Australia, cantik sekaligus sepi dan gersang. Indah juga. Berbeda dengan film Dery. Kelihatan gelap, tapi tidak segelap Kane,” tutur Novi.
Novi menjelaskan mengapa Amelis menang. Baginya, short film tak melulu terkait dengan teknis, dalam kasus ini adalah durasi. “Plot yang kuat, karakter yang kuat, eksekusi yang bagus, teknis penyutradaraan yang bagus, sinematografi yang menunjang plot yang diinginkan, tema yang relevan dengan neighbour,” ujar Novi.
Sebelum sesi diskusi ditutup, Novi mengumumkan bahwa ReelOzInd! memutar 11 film pilihan mereka di 11 kota, yakni lima kota di Australia dan enam kota di Indonesia. Sesi diskusi slot pertama pun berakhir. MC mempersilakan penonton untuk beristirahat di luar ruangan selama 10 menit, sambil memakan camilan yang sudah disediakan oleh panitia.

65 Menit Pemutaran
Sepuluh menit telah berlalu. Semua penonton kembali menempati kursi di dalam ruangan, setelah melakukan registrasi ulang. Jumlah penonton berkurang karena malam pun semakin larut. Seluruh penonton mendapatkan kursi, tidak ada yang lesehan. Tanpa basa-basi, MC menjelaskan sedikit tentang slot kedua pemutaran KDM. Lampu pun segera dimatikan.
Pemutaran kedua dibuka dengan Kitorang Basudara (2015), arahan Nindi Raras. Film ini mengisahkan seorang pemuda yang tinggal di asrama mahasiswa yang semakin penuh. Ia berjuang untuk menyelesaikan pendidikannya. Adiknya, datang dari kota asal mereka: Papua. Mereka harus tinggal di asrama untuk sementara waktu. Berhari-hari, sang kakak menemani adik untuk mencari rumah kos, tetapi tak kunjung mendapatkannya.
Film kedua adalah On Friday Noon (2016) arahan Luhki Herwanayogi. Film ini bercerita tentang Wina, seorang waria yang mencari masjid untuk melaksanakan sholat Jumat. Ia tersesat dan menemui banyak masalah dalam perjalanannya.
Dan slot kedua KDM #8 ditutup dengan Pulang Tanpa Alamat (2015), arahan Riyanto Tan Ageraha. Film ini mengisahkan perjalanan pulang Remo, yang berprofesi sebagai seorang Preman, berubah menjadi perjalanan yang tragis. Di tengah perjalanan, Remo meninggal dunia. Bondet, tangan kanan Remo, kebingungan. Bondet tidak mengetahui ke mana tujuan perjalanan Remo, kota asal Remo. Bondet juga tak mungkin membawa Remo ke kota di mana mereka bekerja, sebab seluruh preman di kota itu pasti akan menuduh Bondet yang membunuh. Pulang Tanpa Alamat berakhir. Terdengar tepuk tangan meriah dari penonton.

Dikusi Slot 2
Lampu ruangan kembali terang. Kemudian MC pun memperkenalkan tiga pembicara. Ketiganya adalah sosok penting di balik tiga film pilihan KDM. Afgandoz dari Kitorang Basudara, Luhki Herwanayogi dari On Friday Noon, dan Riyanto Tan Ageraha dari Pulang Tanpa Alamat.
“Kita ingin memperdalam pertukaran yang sebenarnya sangat banyak. Tadi kita saksikan pada film yang pertama. Cuma di sini merujuk ke bagaimana perbedaan dan keragaman itu kemudian muncul menjadi soal,” kata Suluh Pamuji, selaku moderator.
Penonton menanggapi adegan akhir On Friday Noon ketika sang waria bersujud. Ia penasaran akan maksud sujud tersebut. Sedangkan penonton lain tertarik dengan setting film ini, di tengah hutan. Penonton lain menemukan sisi menarik Pulang Tanpa Alamat, terkait tangan kanan si preman yang tetap membuang jasad sang bos, baginya film ini berakhir tanpa pemecahan masalah. Terakhir, seorang penonton menanggapi beberapa stereotip yang ia temukan dalam Kitorang Basudara.
Luhki menjelaskan, bahwa pembuatan On Friday Noon didasarkan pada riset. Ia menceritakan hasil penelitian terkait waria. Ketika hendak berhubungan dengan Tuhan, waria harus memilih salah satu: menjadi laki-laki atau perempuan. Ada waria yang ketika sholat mengenakan baju koko, ada pula waria yang yakin bahwa mereka adalah perempuan. Dalam film tersebut, ketika hendak beribadah, sang waria memutuskan untuk menjadi laki-laki.
Sujud dalam fiksi ini, menurut Luhki, adalah satu bentuk kebingungan dalam berekspresi. Sang waria tak tahu lagi harus bagaimana, ketika sudah menemukan masjid, tapi terlambat sholat Jumat. Campur aduk kesal dan sedih, di tanah lapang itu pun sang waria bersujud, bentuk komunikasinya dengan Tuhan.
Sedangkan terkait setting, berdasarkan riset Luhki pula, seorang waria tak selalu dibawa ke kantor polisi setelah ditangkap. Sebagian dari mereka dibuang ke tempat yang sama sekali asing. Selain itu, On Friday Noon juga menyoroti penggunaan fasilitas umum yang tak mudah bagi waria.
Dalam Kitorang Basudara, stereotip etnis Cina dalam film tersebut tak ada maksud tertentu. Sang sutradara terinspirasi dari seorang teman beretnis Cina yang berprofesi sebagai rentenir. Dari situlah kemudian diadaptasi menjadi salah satu tokoh dalam film garapannya.
Konsep film ini terinspirasi dari fakta akan susahnya orang dari Indonesia Timur untuk mendapatkan tempat tinggal di Jogja. Bahkan, beberapa indekos tak segan untuk menulis “TIDAK MENERIMA MAHASIWA DARI TIMUR” di depan gerbang rumah mereka. Memang orang Indonesia Timur terkadang terlibat kasus yang tak mengenakkan, namun menurut Afgandoz, tak seharusnya semua orang Timur disamaratakan. Masyarakat Jogja pun seharusnya tak seekstrem itu.
Pulang Tanpa Alamat menceritakan tentang bagaimana warga negara tanpa identitas susah mendapatkan kesempatan. Memang tak mudah ketika agama digunakan untuk melihat seseorang, apalagi ketika uang berbicara. Bahkan teman sendiri tak berkesempatan untuk menolong. Kesetiaan akan kalah dengan kondisi. Riyanto menjelaskan, bahwa fiksi ini diadaptasi dari cerpen. Berkaitan dengan adegan duplikasi KTP dalam film, di era sebelum e-KTP, bukan hal susah, apalagi untuk preman kelas atas seperti sang tokoh utama untuk memalsukan identitas.
Sesi diskusi slot kedua pun ditutup. Seluruh rangkaian acara pemutaran dan diskusi film KDM #8 ini selesai dan terlaksana dengan baik. Sebelum resmi menutup acara, Suluh berterima kasih dan mengingatkan penonton untuk kembali datang meramaikan program pemutaran KDM pada akhir September, dengan kolaborasi bersama International Changing Perspectives Short Film Festival. Tepuk tangan meriah meledak dan acara pun resmi ditutup. Semua penonton diajak berfoto bersama, diiringi lagu “Mobil Balap” dari Naif.

Kritik dan Saran dari Penonton
“Rame! Maksudnya, ramai sekali ya ternyata animo orang untuk tontonan alternatif walau untuk yang slot ReelOzInd! itu gak dapet benar dari mana itu film-film bisa kepilih. Catetan kuratorialnya gak terjelaskan menurutku dan seolah hanya berafiliasi dengan beberapa institusi aja film-film yang masuk kompetisi. Dari bentuk naratifnya juga banyak yang “di bawah ekspektasi” kalau ngeliat cita-citanya untuk berbagi cerita antarnegara. Nah, film slot kedua sebenernya menarik, sayang diskusinya dikit. Terus, secara ruang menonton, sebenernya kalau buatku yang mini susah ngeliatnya, musti ingak-inguk sana-sini menghindari kepala, padahal kalau di depan terlalu dekat. Jadi secara ruang kurang nyaman,” – Anggi, dosen ISI.

“Diskusinya kurang menyentuh tema pemutaran film, “Exchange”. Tapi saya juga hanya datang di sesi pemutaran ke-2 sih. Overall pemutaran film alternatif gratis seperti ini menarik, apalagi film yang dipertontonkan bukan film komersil yang tinggal unduh di internet dapet. Jadi menambah wawasan juga dan ‘pengalaman menonton’” – Toro, mahasiswa UGM.

img_6703 img_6790 img_6812 img_6890

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *