OPENING BIENNALE JOGJA XIV EQUATOR #4

PEMBUKAAN PEMBUKAAN BIENNALE JOGJA XIV
STAGE of HOPELESSNESS (Age of Hope-red)
Jogja National Museum – Kamis, 2 November 2017

YOGYAKARTA – Pembukaan Biennale Jogja XIV dijadwalkan berlangsung pada tanggal 2 November 2017 dan akan menampilkan 27 seniman Indonesia dan 12 seniman Brasil dalam atmosfer kesenian yang akrab di Jogja National Museum.
Dodo Hartoko, direktur biennale menyatakan: “Biennale sebagai ruang percakapan publik senirupa hari ini, semoga mampu mendorong kemungkinan kemungkinan “baru”, yang lebih baik kedepannya.”

Setelah serangkaian intervensi publik yang menjadi bagian dari Festival Equator dengan tajuk “Organizing Chaos” dijalankan secara diam-diam dan subversif di seluruh penjuru kota, kini kami merefleksikan dan memikirkan apa yang tengah terjadi di lingkungan sosial ini. Intervensi tersebut telah mengundang sejumlah reaksi dari ruang publik, yang merujuk pada sebuah kenyataan terkini, bahwa orang-orang merasa lelah berdebat dan berada di antara konflik. Sementara itu, pada waktu bersamaan, sebagian pertunjukan tersebut telah membuktikan bahwa kerja keras, kesabaran, dan konsistensi adalah hal-hal yang tetap dipegang teguh oleh warga Yogyakarta.

Menanggapi “organizing chaos” ini, pembukaan Biennale Jogja XIV akan mengundang audiens untuk turut serta terlibat dalam Stage of Hopelessness di mana perjumpaan dengan aspek-aspek penting dari realitas kita dimaksudkan untuk menuntun kita bersama menuju AGE OF HOPE dan bersama-sama melihat masa depan dengan positif. “Ketika kita berhenti berharap, maka artinya kita sendirilah harapan itu,” ujar Pius Sigit, Kurator BJ XIV. Hal inilah yang Pius harapkan akan dirasakan oleh para pengunjung yang mendatangi lokasi pameran.

Bersama 39 seniman yang memamerkan karya-karya terbaru mereka, pameran ini bertujuan untuk mengaduk-aduk perasaan kita yang paling mendasar dan membawa kita pada pengalaman indrawi berdurasi 60 menit melalui 7 tahap narasi yang terjadi dalam hidup keseharian kita: Penyangkalan atas Kenyataan, Kemarahan pada Keadaan, Keputusasaan atas Kehilangan, Kepasrahan dalam Ketiadaan, Penghiburan atas Kehilangan, Kesadaran pada Keadaan, dan Penerimaan atas Kenyataan. Tiap-tiap seniman akan mengemukakan pesan-pesan penting dalam upaya mereka membaca realitas kita dengan cara yang tulus dan jujur.

Arin Sunaryo (Bandung) akan menanggapi tahap Penyangkalan atas Kenyataan dengan mengubah proses artistiknya untuk menghasilkan karya yang terdistorsi dan labil sebagai upaya untuk keluar dari zona nyaman. Karya terbarunya untuk Biennale merupakan refleksi atas statusnya sebagai seorang seniman mapan yang ingin mendekonstruksi dan mengganggu posisi tersebut dengan cara mengubah hasil karyanya sehingga jauh berbeda dari biasanya.

Dalam tahap Kemarahan pada Keadaan, karya Cinthia Marcelle dan Tiago Mata Machado (Brasil) yang berjudul The Trilogy menjadi satu karya dahsyat yang dibawa ke Indonesia setelah dipamerkan di Venice Biennale. Karya itu berupa tiga video dokumenter yang menggambarkan realitas Brasil, kekerasan agung dari anarki dan daya revolusioner yang mencerminkan realitas politik negara tersebut.

Di lantai dua JNM, karya Mulyana (Yogyakarta) akan membawa audiens memasuki sebuah perjalanan interaktif dari satu sisi gedung ke sisi yang lain. Karya ini bergelut dengan gagasan tentang pilihan ganda yang kita miliki dalam kaitannya dengan harapan—sebagai sekadar gagasan atau mewujudkannya jadi kenyataan. Perjalanan ini hendak membawa kita lebih dekat pada ide dan realitas tentang harapan, dan secara fisik menuntun pengunjung ke lantai tiga yang memamerkan karya para seniman yang menindaklanjuti tahapan Kesadaran pada Keadaan dan Penerimaan atas Kenyataan.Seperti Mulyana ucap, “Saya pengen ngajak orang untuk berfikir bagaimana melihat, menghadapi dan menyikapi rasa takut. Melihat warna atau ruang dengan prespektif yang berbeda.”

Daniel Lie, seniman Brasil keturunan Indonesia yang melakukan residensi di Yogyakarta, akan melangsungkan pertunjukan selama tiga jam di depan pohon beringin di pintu masuk museum. Ia akan membagikan buah dan mengumpulkan titik-titik keringatnya sendiri ke dalam mangkuk keramik yang akan dibawanya ke ruang pameran dia yang terletak di lantai tiga. Selayaknya sebuah prosesi ritual, karya ini mencerminkan keterhubungan kita dengan alam dan kembali pada leluhur, identitas, dan diri; prosesi ini melambangkan proses regenerasi dan kelahiran kembali.

“Saya sendiri akan membawa kekuatan dari sebuah tindakan yang sangat intim, dan kemungkinan saya akan sangat emosional dalam situasi dimana saya perlu sangat berkonsentrasi seperti gestur memberi. Nangka dan seluruh ritual mengkupas dan memberi adalah sesuatu yang saya meliat di ayah saya sejak masa kecil. Bagi saya, performans ini bergerak dari kesederhanaan ke sesuatu yang lebih dalam”, ujar Daniel.

Kamis, 2 November 2017

15.00 sampai selesai

Jogja National Museum (JNM)

Jl. Prof. Ki Amri Yahya No. 1 Yogyakarta
Secara resmi dibuka oleh:

Bpk. Drs. Diah Tutuko Suryandaru (Kepala Taman Budaya Yogyakarta) mewakili

Sri Sultan Hamengku Buwono X(Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta) diwakilkan

Didampingi oleh:

Mr. Rubem Antonio Corrêa Barbosa(Duta Besar Brasil untuk Indonesia)

Triawan Munaf(Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia)

Penampilan Musik:

Dimulai pukul 19.00 WIB

• JASON RANTI (JAKARTA)

• JONO TERBAKAR (YOGYAKARTA)

• TETANGGA PAK GESANG (BANDUNG)

Narasumber :

Dodo Hartoko – Direktur Biennale Jogja XIV

Pius Sigit Kuncoro – Kurator

BIENNALE JOGJA XIV EQUATOR #4

Kantor Yayasan Biennale Yogyakarta d/a

Taman Budaya Yogyakarta

Jl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta Telp. (0274) 587712

Website: http://biennalejogja.org/2017/

Email: biennale.equator@gmail.com

info@biennalejogja.org

Twitter | Instagram: @biennalejogja

Facebook: Biennale Jogja

Narahubung: Diendha Febrian (+62 817-271-109)

PARALLEL EVENT, Wajah Seni Jogja yang Nyata

Selain pameran utama Biennale Jogja XIV – Seri Biennale Equator # 4, 2017 yang akan dibuka pada 2 November 2017, Parallel Event menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hajatan seni rupa internasional ini. Secara khusus, Parallel Event menjadi bentuk dukungandari berbagai ruang seni di Yogyakarta untuk pelaksanaan event dua tahunan ini.

“Di Serial Biennale Equator sebelumnya, Parallel Event mengundang proposal dan mendorong kolaborasi antara seni dan disiplin ilmu lainnya. Kali ini, kami membuka diri untuk sebanyak mungkin ruang seni di kota ini untuk terlibat,” kata Rismilliana Wijayanti , koordinator Parallel Event.

Tanpa membatasi partisipasi pada galeri, ruang seni yang dilibatkan termasuk diantaranya ruang pamer, studio seni, dan juga komunitas seni. Tercatat ada 30 entitas yang berpartisipasi di Biennale kali ini. Salah satunya adalah, Ace House Collective.

Ace House Collective merupakan komunitas yang terbentuk dari Program Parallel Event Biennale Jogja X, Serial Biennale Equator #1, yang lalu. Mereka memiliki perhatian khusus pada karya seni jalanan: graffiti, hip hop dan breakdance. Sejak 14 Oktober, di Mangkuyudan 41 mereka berkumpul dan dan memajang sejarah graffiti di Jogja dari awal tahun 2000-an, pameran bertajuk After All These Years digelar dan setiap minggunya ada sessi jamming. Pameran ini menyajikan hasil riset dan pencatatan mereka atas kiprah seni grafiti jalanan selama hampir dua dekade.

“Selain pameran sejarah graffiti di Jogja, komunitas ini juga membuat acara yang melibatkan publik, kok. Ada acara menggambar bersama tiap minggu yang mereka selenggarakan dengan mengajak street crew, DJ dan b-boys/girls. Jadwal acaranya sudah tersusun. Bisa dilihat di ruang pamernya,” jelas Ris.

Biennale Jogja XIV ini, secara khusus membuka peluang dan menerima dukungan dan partisipasi dari banyak pelaku seni dan pendukungnya dalam perhelatan akbar ini. Paling tidak ada 300 seniman yang berpartisipasi dalam 30 ruang seni.

“Silakan melihat jadwal yang tercantum di baliho, poster, ataupun sosial media yang sudah kami sebar. Masih banyak ruang lain yang dapat dijelajahi untuk memuaskan dahaga mayarakat akan seni rupa Yogya,” kata Ries, menutup perbincangan.
====
Narasumber & Info lebih lanjut : Riesmiliana (WA 0818 260134)

After All These Year(s)
Kajian komprehensif mengenai graffiti hingga saat ini memang masih dipertanyakan. Rujukan yang digunakan secara tekstual maupun kontekstual pun masih bersandar pada teks asalnya – Amerika. Tentu saja rujukan primer ini sifatnya sangat dasar mengingat tema yang diangkat seringkali menyoal histori kemunculan graffiti mula-mula sebagai sebuah bentuk ekspresi yang lahir di jalanan. Namun teknologi informasi yang berkembang begitu cepat telah menjadi jembatan yang memungkinkan graffiti dikenal secara luas hingga ke kota Yogya.
Layaknya budaya impor lainnya, proses
asimilasi pun terjadi pada graffiti dalam upaya berdifusi dengan kultur masyarakat Yogya yang tentu saja berbeda dengan kultur aslinya.
Hingga akhirnya graffiti yang berkembang di kota Yogya ini menjadi aktivitas budaya yang memiliki ciri khas dan keunikannya sendiri yang berbeda dengan kota lain.

Di era post-graffiti yang saat ini pun marak berkembang di kota Yogya, menjadi sangat penting untuk mempertanyakan mengenai histori perkembangan graffiti di kota Yogya itu sendiri. Hal ini menjadi penting mengingat segala aktivitas manusia merupakan hasil dari proses induktif yang dapat dijadikan sebagai bahan kontemplasi untuk menunjang aktivitas manusia itu sendiri. Sehingga inisiasi untuk diadakannya sebuah acara pameran bertajuk “After All These Year(s)” oleh Ace House pada 14 Oktober 2017 ini menjadi satu momen penting ketika artefak dan arsip lama graffiti di kota Yogya dihadirkan untuk dipamerkan. Kisah dibalik penyelenggaraan acara ini pun adalah untuk menyingkap selubung graffiti pada awal perkembangannya di kota Yogya yang sebelumnya segala artefak dan dokumentasi hanya disimpan dan cenderung terabaikan.
Sehingga dengan dipamerkannya artefak maupun dokumentasi graffiti oleh para bomber di kota Yogya pada tahun 2000’an dapat menjadi bahan retrospektif bagi movement graffiti yang berkembang saat ini. Realisasi acara ini pun sepenuhnya disambut dengan tangan terbuka oleh para bomber di era tahun 2000’an seperti DEKA, LOVEHATELOVE, TAT
(TaTSOY), MADS, dan MUCK, selaku individu yang yang dipilih untuk mewakili cerita para bomber era tahun 2000 hingga 2007 di kota Yogya. Selain para bomber tersebut GRAFORCE selaku individu yang sejak tahun 2006 aktif mendokumentasikan graffiti di kota Yogya, turut diundang untuk melengkapi nukilan histori perkembangan graffiti di kota Yogya.
Periodisasi dalam kurun waktu ini pun dikembangkan atas pertimbangan penelusuran artefak dan dokumentasi sekaligus narasi para bomber tersebut berdasarkan ingatan masing- masing. Hasil penelusuran itulah kemudian saling dikolaborasi dan dielaborasi yang sekiranya dapat menjadi titik awal perjalanan berkembangnya movement graffiti di kota Yogya hingga saat ini.

Embrio Graffiti
Menilik ke belakang, apa yang dilakukan oleh para bomber di awal tahun 2000’an ini tak lebih dari sekedar keisengan masa muda yang ditujukan untuk ‘mengganggu’ publik lewat ekspresi mereka. Budaya lowbrow yang diimpor serta asimilasi yang terjadi menghadirkan sebuah aktivitas budaya yang lahir dari ‘jalanan’ kota Yogya. Aktivitas ini tidaklah lahir secara tiba-tiba. Perkembangan teknologi dan informasi di awal abad milenium memungkinkan beragam budaya impor masuk dan berdifusi dengan masyarakat kota Yogya.
Underground music (Punk, Hip Hop, Metal, dll)
dan extreme sport (BMX, Skateboard, dll) menjadi bentuk ekspresi dominan anak muda kala itu. Penyerapan tanpa filtrasi kemudian menjadi semacam shock culture yang cenderung memotivasi anak muda untuk meng- copycat baik movement dan roots dari beragam scene, yang kemudian secara implisit menghasilkan aktivitas komunal berdasarkan interest masing-masing

Graffiti di kota Yogya sendiri menjadi ketertarikan bagi sebagian anak muda saat itu sebagai hasil persinggungan aktivitas komunal underground music dan extreme sport tersebut. Berkumpul atau ‘nongkrong’ menjadi semacam ritual yang rutin dilakukan. Daerah Wijilan – sentra gudeg, merupakan salah satu lokasi di kota Yogya yang menjadi tempat dimana pada awalnya aktivitas berkumpul kerap dilakukan oleh para bomber. Pada saat kumpul-kumpul tersebut aktivitas ‘iseng’ seperti mencoret- coret benda-benda yang ditemui tak luput dilakukan saat berkumpul. Coretan ‘iseng’ ini pun menjadi satu bentuk ekspresi yang dilakukan oleh karena bomber yang berangkat dari aktivitas underground music dan extreme sport sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan berlabel seni rupa – Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) dan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Hal ini menarik mengingat graffiti yang notabene dikenal sebagai ekspresi ‘jalanan’, dalam kasus ini seolah merupakan semacam pilihan bagi para bomber yang memiliki bekal pengetahuan seni rupa untuk di ekspresikan di ‘jalanan’. Ekspresi berwujud corat-coret ‘iseng’ di ‘jalanan’ di awal tahun 2000’an oleh para bomber ini tak disangka menjadi embrio bagi sebuah movement kultural yang satu dekade kemudian berkembang secara masif dan menjadikannya sebagai fragmen kultural.

Tren Bombing – Train Bombing
Aktivitas corat-coret yang awalnya dilakukan secara ‘iseng’ belaka, kemudian mengalami eksplorasi lebih secara militan. Berdasarkan narasi serta artefak yang diungkapkan para bomber, di tahun 2000’an ‘bomb’ graffiti mulai ‘mengganggu’ publik kota Yogya. Graffiti menjadi passion dan vandal menjadi roots.
Semangat mereka terjaga oleh kenaifan dan ekspresi. Apresiasi, penolakan, penangkapan, hingga aksi anarkis oleh stigma destruktif menjadi buah atas ekspresi yang masih lekat dalam ingatan para bomber.

Keterbatasan alat dan bahan tidak menghentikan mereka untuk bombing. Tagging, throw up, logos, sticker slap dan beragam teknik lainnya meninggalkan jejak dan menjadi tekstur bagi ruang publik kota Yogya. Jejak yang ditinggalkan tak hanya pada tembok, rolling door, atau tiang listrik, namun eksplorasi mereka pun berkembang hingga transportasi publik seperti kereta api yang sempat marak terjadi di tahun 2005’an. Alat dan bahan yang digunakan pun seadanya. Bila cat semprot (aerosol) atau yang familiar dikenal sebagai kaleng oleh para bomber dirasa cukup mahal, maka mereka akan menggunakan cat tembok. Bila kantong sedang berlebih dan cukup mereka akan memadukan cat tembok pada fill dan cat semprot pada line dari piece nickname mereka. Beragam modifikasi pada caps – kepala cat semprot pun dilakukan. Mulai dari modifikasi skinny caps untuk menghasilkan garis yang tipis, memodifikasi caps standar untuk menghasilkan garis kaligrafi, hingga menciptakan male dan female caps yang dapat digunakan pada stem cat semprot yang beragam.

Tren bombing mulai berkembang di kota Yogyakarta. Aktivitas vandal yang biasanya dilakukan secara individu menjadi berkelompok. Crew graffiti di kota Yogya mulai bermunculan. Tersebutlah YKILC (Yogyakarta Illegal Crew) sebagai crew graffiti pertama di kota Yogya yang didirikan ROTEN (2005 menjadi LOVEHATELOVE) dan DEKA pada tahun 2003.
Hingga YORC (Yogyakarta Art Crime) yang merupakan crew bagi para bomber kota Yogya pada tahun 2005. Acara graffiti bertema jamming maupun prodo (production) pun mulai aktif diselenggarakan. Tembok yang berada di seberang Galeria Mall (sekarang sudah tidak ada) menjadi saksi bisu aktivitas ‘tembok panas’ bagi para bomber, ‘Yogyakarta Graffiti Strike Back’, ‘Gemerlap Mobil Patroli’, dan beragam acara lainnya menyemarakkan tren bombing kota Yogya yang sedang gayeng-gayeng nya (bahasa Jawa akrab) saat itu .

Eksplorasi bombing di ruang publik pun merambah hingga moda transportasi publik yang menuntut tingkat adrenalin lebih. Ingatan khas secara senada diungkapkan masing- masing oleh DEKA, LOVEHATELOVE, TAT (TaTSOY), MADS, dan MUCK saat membicarakan mengenai train bombing di kota Yogya pada tahun-tahun tersebut. Ialah mengenai penangkapan para bomber oleh pihak berwajib karena mencorat-coret gerbong kereta api. Mereka diwajibkan untuk menghapus coretan mereka atau mengganti uang sebesar 80 juta rupiah sebagai konsekuensi atas tindakan mereka. Akhirnya uang kas yang dikumpulkan oleh para bomber ditambah ‘sumbangan’ dari para siswa SMSR kemudian digunakan untuk membeli tiner guna membersihkan gerbong tersebut. Kejadian yang sempat menjadi bahan jurnalistik ini pun tak juga menyurutkan semangat para bomber terhadap graffiti.

“Tembok kami tak akan runtuh!”
Satu dekade lebih telah berlalu sejak graffiti mulai berkembang di kota Yogya. Selama satu dekade itu pula movement ini telah memiliki dinamika yang silih berganti layaknya jejak-jejak graffiti yang saling ‘timpa-menimpa’ berganti dari waktu ke waktu. Membentuk tekstur artistik sebagai wajah kota Yogya yang bersinggungan dengan aktivitas urban masyarakatnya. Penggalan lirik oleh Tawazun, “Tembok kami tak akan runtuh!” yang kala itu mungkin terdengar naif, provokatif, dan optimistik menjadi mimpi bagi para bomber dan movement graffiti di kota Yogya yang konteksnya masih relevan hingga saat ini.
Graffiti dan para bomber yang kala itu masih terhitung jari jumlahnya bertindak layaknya garda depan, mempertahankan eksistensi
sebuah movement kultural yang kehadirannya tak dapat dinisbikan. Beragam narasi serta artefak yang diungkapkan mungkin tampak sebagai pengalaman eksoterik. Namun tak dapat dipungkiri kepingan narasi maupun pengalaman yang diungkap oleh para bomber ini dapat menjadi satu materi retrospektif bagi graffiti kota Yogya yang terus menorehkan kisahnya.

Donna Carollina

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *